Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KEBAHAGIAAN BULAN SUCI PENUH AMPUNAN

KEBAHAGIAAN BULAN SUCI PENUH AMPUNAN
(Telah dimuat di Majalah SINAR M3IN)
“Allahuakbar, Allahuakbar . . .” Adzan ashar sayup sayup terdengar dari TOA masjid. Getaran lantunan adzan mulai memasuki telingaku dan mengusikku dari alam mimpi. Segera ku beranjak mengambil wudlu tuk bergegas menjalani ibadah rukun islam ke dua ini. Walaupun hanya tidur sejenak, lelah yang kurasakan setelah seharian mengajar pesantren kilat di SD dapat terobati. Karena bulan puasa, aku harus benar benar menghemat tenagaku untuk sesuatu yang bermanfaat.
Masjid yang kutuju tak jauh dari rumah yang kutempati, sekitar 50 meter ke sebelah selatan. Walaupun bulan puasa, shalat ashar dimasjid mungkin hanya terisi satu atau dua shaf saja, kuakui kesadaran umat muslim Indonesia masih sangat rendah untuk shalat berjamaah dimasjid, itulah kenyataan yang terjadi saat ini. Rupanya aku sudah ditunggu tunggu jamaah untuk menjadi Imam. Segera ku maju ke tempat imam, dan memberi isyarat untuk dikumandangkan iqaamah. “Allahuakbar . .” kuawali shalat ashar ini dengar lantunan takbir Maha Besar Allah.
Seperti biasa, setelah ashar ku mengajar TPA anak anak setempat, ditemani pemuda pemudi remaja masjid. Namun hari ini ada yang berbeda, ini hari terakhirku untuk mengajar disini. Karena besuk aku harus pulang ke rumah, tugasku telah selesai. Ku merenungi 20 hari bulan ramadhan yang kulalui ditempat ini. Setiap tahunnya sekolahku memiliki program Mubaligh Hijrah (MH), dan aku mengikutinya pada tahun ini, aku ditempatkan di kotabanjarnegara, disebuah desa yang tak pernah kutemui sebelumnya. Dan tugasku adalah menagaktifkan dakwah islam ditengah masyarakat, layaknya seorang mubaligh. Disinilah aku belajar banyak sekali tentang kehidupan ditengah masyarakat.
“Kak, kak, ayo segera dimulai TPAnya” Seorang anak TPAku membuyarkan lamunanku, aku segera bergegas karena semua telah berkumpul. Mereka terlihat antusias dengan hari terakhirku mengajar. “Assalamu’alaikum WaRahmatullahiwabarakatuh”, kusapa mereka dengan salam, “Wa’alaikumsalam waRahmatullahi wabarakatuh” Jawab anak anak serempak. “Mari kita buka belajar kita kali ini dengan melafadzkan basmalah secara bersama sama.” Ku tatapi mereka satu per satu, nampak wajah tak rela karena ini pertemuan terakhir denganku di TPA Al Manar.
“Bagaimana kabarnya?” Tanyaku dengan nada penuh semangat untuk merubah suasana, “Alhamdulillah, luar biasa Allahuakbar” jawab anak anak dengan penuh semangat juga. Itu yang aku suka, semangat anak desa untuk menuntut ilmu tak mudah tumpul. Ku mulai memberikan nasehat nasehat serta kejelasan bahwa aku besuk akan pergi namun bukan berarti segalanya beakhir. Aku mensupport mereka agar timbul semangat menuntut ilmu. Jihad Fi Sabilillah yang mulia bagi seumuran mereka adalah belajar. Setiap patah kata nasehat yang kusampaikan, mataku tak pernah lepas melirik santri TPAku yang bernama Erik. Ada something diference yang kurasakan. Biasanya dia yang selalu membikin onar dan kerusakan di bumi TPA Al Manar, sekarang drastis berubah, kini ia terduduk manis, setia mengikuti kata kata yang keluar dari mulutku. Ingin ku menanyainya nanti sehabis TPA.
TPA berakhir tepat pukul 05.00 setelah semuanya mendapat giliran untuk maju menyetor bacaan. Kudekati seorang anak yang sempat membuatku heran, dan kuajak ke serambi masjid untuk mengobrol sejenak sambil menunggu buka puasa.
“Kak, beneran besuk sudah mau balik, Erik kansebenarnya masih ingin kakak disini?”. Anak yang beda 6 tahun denganku itu memulai obrolan.
“Iya, mau dikata apa lagi, besuk pihak sekolah kakak akan menjemput dan memulangkan kakak”, jelasku.
 “Owh . .tapi kak, Erik masih ingin belajar banyak dari kakak!” Pinta Erik.
Aku tahu ketulusan hatinya, sebenarnya aku juga ingin disini hingga lebaran, tapi orang tuaku menyuruhku pulang karena sudah setahun aku tak pulang pulang. “yah . . Erik kan masih bisa belajar dengan orang lain yang lebih pintar dari kakak. Tapi kakak sudah liat kok, Erik sudah belajar dengan sungguh sungguh, sekarang Erik sudah mulai keliatan berubah. Bisa mengatur diri, merdeka dari belenggu hawa nafsu dan setan” Jelasku.
“yap, itu semua kankarena kakak juga, kemarin udah ngajarin gimana kita harus menjadikan bulan ramadhan sebagai bulan kemerdekaan dari belenggu setan dan hawa nafsu. makasih banyak ya kak”. Aku terenyuh mendengar ucapan terimakasih yang setulus ini.
“Pokoknya kakak jangan khawatir deh, Erik akan tetap selalu mengingat nasehat kakak, dan lebih banyak belajar lagi dengan orang lain. Erik baru tahu, kalau jadi orang baik itu ternyata enak”, Lanjut Erik.
Tak terasa waktu mendekati buka puasa. Anak anak TPA yang sebelumnya sibuk bermain juga ikut nimbrung ngobrol bersama. Setelah membantuku menyiapkan ta’jil, Erik segera bergegas mengumandangkan adzan yang sangat dinanti nanti umat muslim pada bulan ramadhan dengan penuh semangat, sungguh tak seperti biasanya. Terimakasih ya Allah, Engkau telah menjaga anak itu dari belenggu belenggu setan dan hawa nafsu.
“Kak, jangan lupakan Erik ya, besuk pas mau pulang pokoknya harus pamit dulu sama Erik” Itu pesan yang disampaikan Erik terakhir kali saat ku beranjak pulang.
 “Tentu, apalagi sama nakalnya Erik, kakak enggak pernah lupa.” Jawabku singkat.
Setelah itu ku kembali ke rumah sementarku di Banjar setelah. Aku bertemu Pak Hadi, tuan rumahku di ruang tamu, kusapa hangat. Rupanya makanan telah siap dimeja makan, betapa baiknya tuan rumahku selama 20 hari ini, tak pernah ku lihat keluhan karenaku, dan selalu memberikan pelayanan yang baik layaknya seorang tamu penting. Sungguh tuan rumah yang baik. Dengan malu malu aku menghabiskan jatah makanku dan beranjak ke kamar.
Entah mengapa tiba tiba aku termenung kembali tentang perubahan Erik yang sangat drastis. Sungguh berbeda saat kusampai pertamakali disini, dia begitu nakal dan tak bisa diatur. Aku sungguh senang bisa memberikan perubahan, walaupun satu orang, ku harap Erik bisa mewabahkan perubahannya kepada teman temannya yang lain. Dan tentunya akan berakhir bahagia bulan suci ini bagi kehidupan kampung Merden.
“Hayya ‘ala Shalaa . . .” Adzan kembali berkumandang dari TOA masjid Al Manar, mengajak para manusia untuk melaksanakan shalat isya’. Ini tarawih terakhirku, setelah selesai shalat tarawih nanti aku akan pamit kepada warga. Entah apa yang terjadi nantinya. Jika kutelah tiada di kampung ini.
“Mas Abdul, besuk sudah mau pulang ya, waduh kok cepat sekali?” Sapa seorang warga dengan aksen ngapaknya yang segar saat kusedang menuju masjid.
“iya pak Rahmat,, sebenarnya saya juga masih ingin berlama lama, tapi memang sudah waktunya saya pulang. Maaf kalau selama ini saya ada salah.” Aku membalas.
 “Sudahlah, sebesar apapun sudah saya maafkan . . manusiakan tak lepas dari khilaf, ya nggak he . .he . .” Ramah pak Rahmat.
“Mari pak, jamaah sudah ramai” Ajakku kepada pak Rahmat.
Pak Rahmat langsung mengikuti dibelakangku sambil tetap menjaga senyumnya. Dia adalah warga yang pertama kukenal dikampung ini, memang pak Rahmat sangat ramah.
“Assalamu’alaikum WaRahmatullahi Wabarakatuh” Dengan performen yang meyakinkan kumulai ceramah sehabis tarawih, seperti semangatku dulu saat menyampaikan tarawih pertamakali di masjid ini. Serempak hadirin menjawab salamku. Setelah kusampaikan nasehat agama yang selalu segar kabarnya, kusampaikan pamitku kepada hadirin masyarakat kampung Merden bahwa besuk aku akan meninggalkan kampung ini. Tiba tiba kata kataku terasa berat saat sampai permintaan maaf, aku belum merasa begitu berguna dikampung ini, belum ada perubahan yang berarti dalam waktu 20 hari ini. Namun tiba tiba terbesit seorang bocah bernama Erik, yang membuatku bangga bahwa aku ternyata masih bisa memberikan sesuatu yang berarti di lingkungan sekitarku. Saat sampai kata kata terakhir, tiba tiba terdengar suara riuh keributan sedikit. Perhatian warga segera menuju kesana. perasaanku langsung gundah saat kulihat keranda jenazah menuju masjid ini, ada apa gerangan??. Tak ambil tempo, segera kuakhiri ceramahku.
Pak Rahmat maju kedepan membawa secarik kertas setelah aku turun dari podium. Aku tahu dia hendak mengumumkan berita lelayu, pedih akan terasa bila itu orang dekat kita. Tak kuasa lagi penasaran dan keteganganku ubtuk menunggu rentetan kata dari pak Rahmat.
“Berita lelayu, telah meninggal dengan tenang ke Rahmatullah, nama Muhammad Erik Sistiyo . . .” Tak tahu apa yang terjadi, seakan langit menjadi bumi dan bumi menjadi langit. Aku langsung berlari kebelakang menuju keranda jenazah. Kukira semua akan berakhir begitu bahagia ketika ku meninggalkan kampung ini. Namun kehendak Allah berbeda, Allah menakdirkan kebahagian untuk Erik setelah dia berubah.  Mengapa Engkau begitu cepat memutuskan hari terkhir bertemu dengan Erik hari ini, tidak besuk, atau lusa. Kusadari, inilah takdir Allah, misteri yang tak akan pernah tertebak sepanjang masa. Kusentuh keranda hijau itu. Dalam kucuran air mata, tak terasa terucap sepatah kata kepadaNya . .
            “Walaupun kematian ini terlihat pilu,,
tapi aku mengerti, inilah kebahagiaan yang Engkau berikan kepada Erik untuk dapat merasakan surgaMu.
Semoga kebahagian ini serupa Engkau berikan kepada kampung ini dan   Umat Muslim. .
Kebahagiaan Bulan Suci penuh ampunan . .

Ditulis Oleh :
          Azhar Nasih Ulwan
          Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta 

Posting Komentar untuk "KEBAHAGIAAN BULAN SUCI PENUH AMPUNAN"