Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MENGINTREPRETASIKAN KATA BUDAYA




            Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya akan budaya. Kita bisa melihat perbedaan adat-istiadat yang mencolok di Indonesia. Ada orang jawa, ada orang batak, ada orang madura, ada orang dayak, dan masih banyak lagi, kalau disebutin bisa jadi buku nanti. Tapi yang akan dibahas disini bukan budaya daerah, namun budaya yang lain dari pada yang lain. Budaya khas masyarakat Indonesiamasa kini yang entah dari mana adal muasalnya. Buah karya kekreativan yang mungkin tak patut dicontoh. Namun tetap saja disenangi masyarakat yang dianggap terbelakang oleh dunia. Budaya jam karet, budaya korupsi, budaya ngebo alias tidur pagi merupakan beberapa contohnya. Kita mungkin akan bertanya-tanya dari mana asal kebudayaan itu, apakah dari sabang atau merauke, tetap saja budaya itu tak terdaftar dalam kamus sejarah masyarakat Indonesia. Namun eksistensinya banyak dipegang teguh masyarakat Indonesia.
            kita sudah biasa mendengar perkataan seperti “ah, sudah budaya kalau kita mengadakan kegiatan molor satu jam atau dua jam” atau kita sering melihat koruptor-koruptor dengan wajah tanpa dosa nyengir lebar di layar kaca, padahal sudah jelas-jelas menyengsarakan rakyat jelata masih sempat-sempatnya tebar penosa dengan penuh keyakinan kalau yang dilakukannya merupakan perbuatan yang sudah biasa dan tidak luar biasa lagi. Padahal jelas-jelas perbuatan itu alamat kehancuran dunia akhirat, diri sendiri atau orang lain. menurut Frenky Simanjuntak, Manajer kebijakan dan penelitian TTI (Tranparenci International Indonesia), “penggunaan kata budaya untuk korupsi di Indonesiasendiri tidak tepat, karena akan melemahkan usaha pemberantasan korupsi akibat pemahaman kata budaya yang salah”. Perbendaharaan kata “budaya” untuk sejenis kejahatan sepatutnya kita hapuskan dan kita ganti, karena kata budaya yang disalahgunakan dapat menjadi penyakit berbahaya yang harus kita berantas di bumi pertiwi ini.
            Walaupun kelihatannya sepele, namun jika dibiarkan, fenomena ini akan mendarah daging kepada bangsa ini. Bahkan orang luar akan berfiir betapa bobroknya kita dengan kebiasaan-kebiasaan yang jelas-jelas tercela seperti itu, padahal kita adalah negara mayoritas islam. Hal ini akan semakin menguatkan asumsi bahwa Indonesia semakin amburadul moralnya, dimana bangsa ini dengan lima sila agungnya, umat muslimnya. Akankah kita tetap menjadi bangsa yang semakin terbelakang hanya gara-gara kata “budaya”, sungguh memalukan bagi bangsa yang memiliki harkat dan martabat.


 Penulis: 
Azhar Nasih Ulwan

Posting Komentar untuk "MENGINTREPRETASIKAN KATA BUDAYA"