Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MERAJUT ASA DI BUMI PERTIWI




MERAJUT ASA DI BUMI PERTIWI

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman...



            Sepenggal syair bertajuk “Kolam Susu” diatas cukup menggambarkan keadaan tanah nusantara yang dihujani kelimpahan alam. Syair ini telah ada selama 30 tahun-an yang lalu, dibawakan oleh group musik Koes Plus. Lantas apakah kekayaan tersebut mengantarkan Indonesia menjadi negara yang sejahtera saat ini?
            Belum, bangsa ini belum merdeka sepenuhnya, bahkan setelah Bung Karno meneriakkan teks proklamasi diatas altar kemerdekaan. Negara ini masih terjajah. Kain-Kain rombeng bekas jajahan belum sepenuhnya terjahit tuntas menjadi pakaian yang indah menawan. Kalaupun kita terlihat memakai pakaian yang mewah dengan kekayaan anugerah zamrud khatulistiwa, namun tubuh kita yang terbalut dengan kain membusuk perlahan.
            Tidak, negara kita sudah sepatutnya tidak pantas untuk dijajah. Karena kita bangsa yang besar dan terlahir dari kebanggaan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Idioma-idioma kebangkitan bangsa yang sudah genap seabad dulu di gelorakan, seharusnya bisa menjadi pecut semangat bagi kebangkitan negara ini.

Merajut asa   
Tidak bisa dipungkiri, bangsa ini hidup diatas tanah surga. Minyak bumi, gas alam, batu bara, dan kekayaan alam lainnya berserakan diatas negara maritim ini. Negara kita termasuk 3 besar didunia sebagai eksportir batu bara dan gas alam, serta produsen timah dan tembaga. Bahkan rempah-rempah kita sudah terkenal semenjak 5 abad silam.
Enam puluh enam tahun negara ini merdeka, 13 tahun negara ini bereformasi, tapi bangsa kita masih berjiwa kerdil dengan pakaian kebesarannya. Sejumlah 259.940.857 orang Indonesia hidup diatas bumi pertiwi (kompas. 2010), sebuah angka fantastis yang mengantarkan kita menjadi negara ke-4 terbanyak penduduknya didunia. SDM dan SDA yang melimpah ruah seharusnya bisa menjadi modal prominen bagi kita.
Bangsa ini masih diliputi pesimistis yang membludak. Berbagai keterpurukan Indonesia menjadi doktrin pesimistis yang disajikan media setiap harinya. Berita korupsi, kriminalitas, gosip berbalut kebohongan dan berita negatif lainnya perlahan menggerogoti idiologi bangsa ini. Jarang kita mendengarkan berita positif pembangun optimisme bangsa. Inilah penjajah kontemporer bangsa ini, pesimistis dan lunturnya rasa percaya diri.
Puncak penjajahan terlihat jelas ketika krisis 1997 menerjang Bumi Pertiwi. Berbagai instansi kebanggaan satu per satu hendak dibunuh. IPTN, Puspitek dan lembaga lain hendak dibunuh. Dianggap sebagi borok luka yang dapat memperbusuk tubuh bangsa, karena biaya yang merugikan. Padahal 1995, kita telah menerbangkan N 250 Gatot Koco yang mencengangkan dunia, sekarang kita hanya berbangga dengan kompetisi roket air. Jika optimisme dahulu telah lekat dalam darah daging bangsa, saat ini kita menjadi bangsa terhormat.
Akhirnya, kita harus memutus doktrin jajahan itu dalam mata rantai sejarah bangsa. Bagaimana kita akan maju jika selentingan, “Ah, produk Indonesia, apa sih bagusnya?”, “Ah orang Indonesia, apa sih bisanya?” terus terputar dalam benak. Bangga dan percaya diri harus dihujamkan dalam jantung bangsa pertiwi. Hilangkan wabah negativisme yang berujung pada putusnya perjuangan, saatnya bangkit dari keterpurukan. “Karena kita adalah bangsa pejuang. Yang tidak mengenal lelah dan kalah” (B. J. Habibie, dalam presidential lecturer UGM). Hapus kata “Pesimis” dalam kamus bangsa, saatnya menuliskan kata “Optimisme” dengan mantap dan semangat.

Posting Komentar untuk "MERAJUT ASA DI BUMI PERTIWI"