PENDIDIKAN KELUARGA, BATU LONCATAN MEMBANGUN BANGSA BERPERADABAN
PENDIDIKAN KELUARGA,
BATU LONCATAN MEMBANGUN BANGSA BERPERADABAN
Pendidikan dipandang mampu memenuhi capasity building, baik personal maupun institusional. Hal itulah yang menjadikan pendidikan senantiasa dijadikan batu loncatan pembangun peradaban emas manusia. Capasity Building yang terbentuk dalam diri manusia terdidik, mampu menjawab tantangan masa kini maupun masa depan, mengingat cakupannya dalam peningkatan kualitas kognitif, skill maupun afektif. Tiga hal tersebut dengan diringi berbagai sifat positif seperti; ketaqwaan, tanggung jawab, moral, keterampilan, dan sifat positif lain yang merupakan produk pendidikan menjadi basic self capasity dalam mengarungi hidup.
Pendidikan merupakan rahasia kekuatan kebangkitan bangsa. Jika menilik sejarah bangsa-bangsa besar, hampir seluruhnya akan kita temui titik kebangkitan berasal dari fase pendidikan. Seperti halnya, renaissaince Eropa yang membuat negara-negara Eropa saat ini maju, maupun Restorasi Meiji yang menyulap jepang menjadi negara terdepan dalam teknologi, contoh lain kebangkitan Jepang setelah kekalahannya dalam perang dunia 2. Walaupun terpuruk setelah menelan 2 bom atom di negaranya, namun dapat bangkit dan menjadi negara yang kuat ekonomi maupun stabilitasnya saat ini. Semua itu terjadi karena kecerdasan yang mereka miliki dan tidak lain merupakan hasil dari proses pendidikan baik formal, informal maupun non formal.
Indonesia sendiri menjadikan kecerdasan (mencerdaskan kehidupan bangsa) sebagai salah satu tujuan nasional yang termaktub di dalam pembukaan UUD 1945. Mencerdaskan kehidupan bangsa mengandung makna bahwa ”mencerdaskan” itu merupakan tugas dari semua elemen bangsa dan dari berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pendidikan secara langsung menjadi tujuan nasional karena perannya yang mencerdaskan bangsa.
Pendidikan nasional pada dasarnya lebih difokuskan pada usaha membentuk manusia seutuhnya (insan kamil), yaitu manusia yang mampu menunjukkan sebagai hamba Tuhan termulia yang memiliki kesalehan sosial, sehingga tidak hanya bermanfaat bagi manusia lainnya, melainkan juga bagi keseluruhan lingkungan yang melingkupi dirinya.
Bangsa ini dapat terbentuk seutuhnya melalui pendidikan dengan proses yang sedemikian rupa. Produk pendidikan yang berkualitas tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa melalui sebuah proses. Sebuah proses tersebut bermula dari penggemblengan peserta didik dalam fase pendidikan yang tepat.
Sudah seharusnya pendidikan didukung oleh pemerintah dengan berbagai kekhususannya, salah satunya dukungan dana melalui APBD dan APBN. Berdasarkan UUD 1945 dan UU Sisdiknas, anggaran pendidikan untuk operasional pendidikan seharusnya sekitar 20% APBN dan APBD. Angka ini secara politis sangatlah berarti, karena selama ini anggaran pendidikan pada kenyataannya tidak pernah melebihi dari 5% dari APBN dan APBD.
Sangat tepat jika wacana pendidikan bukanlah merupakan tugas beberapa elemen saja, namun keseluruhan komponen negeri ini bertanggungjawab atas itu. Penanggungajwab utama tentu adalah pemerintah, sebagai pemegang kebijakan tertinggi terhadap masalah pendidikan.
Sayangnya selama ini pemerintah hanya terfokus terhadap pendidikan sektor formal semata. Padahal sektor nonformal terutama pendidikan keluarga merupakan bahasan yang mendasar dalam membangun bangsa ini. Hal ini terbukti dengan berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah mengenai pendidikan, seperti penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam penjelasan tersebut, pemerintah tidak menyinggung banyak mengenai pendidikan nonformal terutama pendidikan keluarga.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 1992 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan Nasional. Pemerintah hanya menyinggung Pendidikan Prasekolah, Pendidikan Dasar, Pendidikan Tinggi, Pendidikan Luar Sekolah, dan Tenaga Kependidikan, sedangkan pendidikan keluarga belum tersentuh.
Selain itu, pembahasan sistem pendidikan nasional serta kritik yang menyertainya selama ini hanya terfokus pada kurikulum, metode pembeljaran, evaluasi pendidikan dan pembelajaran, ketenagaan, dll. Sedangkan dalam ranah pendidikan keluarga kurang disentuh.
Regulasi pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan jalur informal yang sepenuhnya menjadi kewenangan keluarga dan masyarakat didorong dan diberikan keleluasaan dalam mengembangkan program pendidikannya disesuaikan dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, standar nasional pendidikan pada jalur pendidikan informal hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pengakuan kompetensi peserta didik saja. Regulasi yang tertuang dalam PP no. 39 tahun 1992 tersebut seakan mengindikasikan bahwa pemerintah cenderung membiarkan proses pendidikan dalam keluarga di negara ini.
Keluarga merupakan lingkungan sekaligus sarana pendidikan nonformal yang paling dekat dengan anak, kontribusinya terhadap keberhasilan pendidikan anak didik cukup besar. Rata-rata anak didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30 persen. Selebihnya (70 persen), anak didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, sudah terbukti bahwa periode paling efektif untuk membentuk karakter anak adalah sebelum usia 10 tahun (Wibowo, 2012).
Sangatlah wajar jika kita mengharapkan keluarga sebagai pelaku utama dalam mendidik dasar-dasar karakter pada anak untuk menjadi insal kamil. Ketika penggerak bangsa ini adalah para insan kamil, tentu perdaban bangsa ini menjadi peradaban emas.
Pendidikan Keluarga
Keluarga merupakan lingkup utama dan pertama dalam proses pendidikan seseorang, hingga pemerintah dalam Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1993 menyatakan tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara menyebutkan bahwa pendidikan di lingkungan keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan pendidikan pra sekolah.
Keberhasilan pendidikan karakter dalam keluarga akan memuluskan pendidikan karakter dalam lingkup-lingkup selanjutnya, begitu sebaliknya. Bukan hanya karena keluarga merupakan lingkungan yang efektif, tetapi juga karena usia keemasan atau sering disebut ahli psikolog sebagai golden age. Usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia empat tahun atau masa-masa golden age itu. Peningkatan kecerdasan sekitar 30% berikutnya terjadi pada usia delapan tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dengan demikian, menjadikan keluarga sebagai lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak adalah langkah yang tepat. Sangat disayangkan apabila kesempatan emas ini tidak dimaksimalkan secara mendalam.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan dimulai dari anak lahir sampai meninggal (life long education). Jadi meskipun orang itu sudah tua pada umumnya masih dapat dididik. Sehingga pendidikan keluarga tidak hanya terputus ketika seorang anak telah dewasa, namun akan terus berlangsung hingga akhir hayat.
Parenting Style
Pendidikan karakter merupakan model pendidikan yang saat ini getol di implementasikan dalam dunia pendidikan Indonesia. Pendidikan karakter adalah pendidikan sepanjang hayat, sebagai proses perkembangan ke arah manusia kaffah (sempurna). Oleh karena itu pendidikan karakter memerlukan keteladanan dan sentuhan mulai sejak dini sampai dewasa. Periode yang paling sensitif menentukan adalah pendidikan dalam keluarga yang menjadi tanggungjawab orang tua. Pola asuh atau parenting style adalah salah satu faktor yang secara signifikan turut membentuk karakter anak.
Menurut pemerhati anak, Juliana Langowuyo, pendidikan karakter harus dimulai sejak usia dini dan pihak yang paling bertanggungjawab untuk mendidik mengasuh dan membesarkan anak-anak menjadi generasi yang tangguh adalah orang tua. Orang tua adalah pihak yang paling dekat dengan anak sehingga kebiasaan dan segala tingkah laku yang terbentuk dalam keluarga menjadi contoh dan dengan mudah ditiru anak.
Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan terpenting. Sesuai dengan nilai-nilai moral pancasila maka orang tua sebagai pendidik di dalam keluarga harus mempunyai sikap “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani”.
Ing ngarsa sung taladha maksudnya orang tua harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anaknya. Seorang anak akan senantiasa meniru dan meneladani sikap orang tua dalam berbagai aspek kehidupan. Sifat anak pada umumnya tidak jauh dari sifat orang tuanya. Bagaimana perilaku seorang anak, akan bisa kita terka dengan melihat bagaimana perilaku orang tuanya.
Dewasa ini, karakter keluarga semakin mengalami distorsi moral. Orang tua semakin memberikan keleluasaan bagi anaknya untuk bertindak semaunya, sehingga terjadilah fenomena pergaulan bebas. Orang tua yang cenderung memenuhi segala keinginan anaknya, sehingga muncul anak-anak bangsa yang kurang mandiri dan tegar dalam hidup. Generasi ke generasi, degradasi moral semakin jelas ketika tidak ada ketegasan keteladanan dari orang tua. Dapat kita perhatikan ketika orang tua yang tidak berpacaran, akan tetapi anaknya berpacaran. Bagaimana dengan orang tua yang terbiasa dengan fenomena pacaran, tentu sebagian besar anaknya akan lebih terjerumus ke hal yang negatif lainnya.
Sedangkan Ing Madya Mangun Karsa dapat diartikan bahwa orang tua dalam mendidik anak harus mampu memotivasi dan membangkitkan tekad serta semangat anak-anaknya untuk berkreasi dan mempunyai niat yang kuat untuk berbuat. Orang tua juga harus mempunyai sikap, “Tut wuri handayani”, artinya harus mampu mendorong dan mengedepankan anak-anaknya seraya membekalinya dengan rasa percaya diri pada diri sendiri.
Menilik referensi lain, dalam memberikan pendidikan yang benar dan seimbang kepada anak, alangkah baiknya kita mengacu dan mempraktikan metode pendidikan yang dilakukan oleh Luqman Hakim dalam mendidik anaknya yang diabadikan al Qur’an dalam surat Luqman ayat 13-19. Dalam memberikan pendidikan kepada anaknya Luqman menekankan perhatiannya kepada empat aspek, yaitu akidah, ibadah, akhlak dan dakwah.
1. Pendidikan akidah
Pendidikan tauhid sangat penting sekali sebagai modal dasar bagi anak dalam menjalani kehidupannya kelak. Sudah seharusnya ditanamkan bahwa ibadah adalah yang murni hanya untuk Allah semata, membuatnya selalu terkait dengan Allah, membiasakannya agar selalu tidak takut kecuali kepada Allah saja, dan mengajarkan kepadanya kepercayaan taqdir.
2. Pendidikan Ibadah
Selanjutnya Luqman mengajak anaknya membiasakan diri melakukan ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan rasulNya. Sesuatu betapapun ringannya, jika tidak dibiasakan akan terasa berat. Sebaliknya sesuatu yang berat jika selalu dibiasakan akan terasa ringan.
3. Pendidikan Akhlak
Selanjutnya sikap yang ditanamkan Luqman kepada anaknya adalah akhlak yang baik. Dengan berbekal akhlak yang baik ini seorang anak kelak akan mampu menempatkan dirinya dengan sebaik baiknya di tengah tengah masyarakat. Karena itu Luqman mendidik anaknya agar mampu bersabar mengahadapi cobaan dan tantangan hidup.
4. Pendidikan Dakwah
Luqman menanamkan kepada anaknya sifat keberanian menyatakan kebenaran, dan mengajak orang untuk melakukannya, serta keberanian untuk menunjukkan mana yang salah dan melarang orang untuk mendekatinya. Inilah sikap da’i yang tidak mementingkan diri sendiri tetapi juga memperhatikan lingkungan sekitarnya. Apabila setiap individu mau berusaha untuk melakukan amar makruf nahi munkar, tentu hidup ini akan terasa aman dan damai, setiap perselisihan akan dapat diatasi.
Sebuah Batu Loncatan yang Kokoh
Setelah melihat berbagai fakta yang tertuang diatas, kita dapat memahami bahwa pendidikan keluarga menjadi proses yang utama dan pertama dalam membangun bangsa. Perannya dalam membentuk insan kamil sebagai penggerak roda kehidupan bangsa masa depan, dapat menjawab alasan tersebut. Belum lagi masa golden age seorang manusia berada dalam fase pendidikan, tentu kesempatan ini menjadi wacana utama dalam pendidikan keseluruhan.
Namun yang sangat disayangkan, pemerintah selama ini hanya fokus terhadap pendidikan formal, sedangkan pendidikan keluarga yang merupakan pendidikan nonformal terbengkalai. Akhirnya kita bisa melihat bahwa bangsa kita cerdas secara intelektual, akan tetapi penyakitan secara moralitas. Tidak perlu berbelit-belit dalam pembahasan pendidikan nasional, yang terpenting bagaimana kita memulai dari diri sendiri dan keluarga kita sendiri utamanya. Dengan langkah tersebut, bukan tidak mungkin insan kamil yang diharapkan akan terbentuk dari desain pendidikan keluarga yang baik. Maka, mari kita jadikan pendidikan keluarga sebagai batu loncatan yang kokoh dalam membangun bangsa berperadaban.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi, Al Furqon. 2006. Konsep Pendidikan Islam Menurut Ibn Qayyim: Relevansinya dengan Pendidikan Modern. Surakarta : Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Jam’iyah, Nur Aeni. 2001. Faktor Faktor Pendidikan Menurut Al Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumudin. Surakarta : Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Nurasih, Yosephine dan Mujinem. 1997. Keluarga Sebagai Peletak Dasar Pendidikan Moral Bangsa dalam Pembangunan. Cakrawala Pendidikan.
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. 2007. Akhlak Madrasah Aliyah Umum. Yogyakarta : Emgain Press.
Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.
Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 39 tahun 1992 tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan nasional.
Suhaepi, Epi. 2012. Globalisasi Pendidikan Mencerdaskan Bangsa. Yogyakarta: Koran Merapi 27 Maret 2012.
Wahab, Rochmat. 2004. Mengkritisi Sistem Pendidikan Nasional, Aktualisasi Otonomi Pendidikan dan Alokasi Anggaran Pendidikan. Cilacap: Seminar Nasional Pendidikan Institut Agama Islam Al Ghazali.
Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter, Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
BIODATA PENULIS
Azhar Nasih Ulwan
Posting Komentar untuk "PENDIDIKAN KELUARGA, BATU LONCATAN MEMBANGUN BANGSA BERPERADABAN"