Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menembus Batas 1: Dieng Plateau

JOURNEY TO DIENG PLATEAU
(Azhar Nasih Ulwan)

            Mega merah mulai menghilang dari barat, menandakan bahwa senja mulai berganti malam. Saya bersiap untuk berangkat ke sebuah tujuan wisata di Jawa Tengah, yaitu Dataran Tinggi Dieng. Tepatnya setelah isya’, bersama teman saya, iqbal, kami berangkat ke penyewaan mobil. Kami meminjam mobil yang digunakan sebagai kendaraan untuk menuju Dieng. Kami bersepakat untuk menyewa mobil bukan bus, karena rombongan yang berangkat berjumlah delapan orang. Selain itu, kami tidak memiliki sim untuk mengendarai bus.
            Tempat penyewaan mobil yang kami tuju direkomendasikan oleh Pak Podo, kenalan kami yang bekerja sebagai supir dalam kesehariannya. Tempat penyewaan tersebut terletak di daerah Kadipaten, Kraton. Tidak ada plang atau tulisan yang menjelaskan tempat penyewaaan mobil, yang ada hanya sebuah rumah dengan halaman luas dengan berjibun mobil berbagai merek di depannya. Disana kami bertemu sang empunya mobil, yaitu pak Agus. Ternyata Pak Agus membuka persewaan mobil yang unik. Tidak semua orang bisa meminjam mobilnya yang berjumlah 10. Hanya orang-orang yang dikenal atau direkomendasikan oleh temannya yang dapat meminjam mobilnya. Jadi sistem sewanya secara kekeluargaan, bahkan kami tidak disuruh untuk meinggalkan identitas atau jaminan.
            Pak agus memiliki perawakan yang tegap, wajahnya teduh dan rambutnya sebagian besar sudah beruban. Gaya bicaranya ramah dan hangat, membuat kami betah berlama-lama ngobrol hingga tidak terasa satu jam telah terlewati. Bahkan kami sempat dinasehati banyak hal dalam menjalani kehidupan. Singkat cerita, kami membawa mobil sewaan sekitar pukul 21.00 WIB.
            Setelah mobil kita bawa, lantas saya menyetir mobil ke wates untuk menjemput teman kami Styaningsih. Sebelum sampai di wates, kami mampir ke minimarket untuk membeli bekal perjalanan. Sampai di rumah nining, panggilan akrab Sityaningsih sekitar pukul 22.30 WIB. Tanpa berlama-lama kami langsung mengkondisikan barang bawaan kedalam mobil, dan pamit ke Ibunya Nining untuk kembali ke Jogja menjemput teman lain yang sudah menunggu sejak pukul 22.00 WIB.
            Sampai di Jogja lagi sekitar pukul 23.30 WIB. tempat penjemputan pertama adalah UNY dan sekitarnya. Disana kami menjemput teman yang ikut serta dalam rombongan, yakni Ikfan, Haryani, Hilma, dan Gama. Rata-rata mereka sudah menunggu lama, karena memang kami terlambat akibat terlalu lama ngobrol dengan Pak Agus dirumahnya, lebih karena kami tidak enak mau bergegas ketika diwejangi berbagai macam hal.
            Selanjutnya kami menjemput Kyki yang rumahnya berada di jalan Monjali, tepatnya di belakang warung SS jalan Monjali. Ternyata teman kami yang satu ini tidur karena lama menunggu jemputan. Untungnya setelah di telpon beberapa kali bisa bangun dan bersiap untuk berangkat. Kedua orang tuanya mengantarkan kepergian kami yang sementara waktu ke Dataran Tinggi Dieng.
            Mobil berangkat dari jogja sekitar pukul 12.00 WIB setelah terisi penuh. Memang jikalau jalan-jalan ke tempat wisata asyiknya ramai-ramai bersama teman. Posisi sopir diambil alih teman saya, iqbal, yang jam terbangnya sudah tinggi dalam mengendarai mobil, jadi keahliannya dalam mengendarai mobil sudah tidak bisa diragukan lagi. Ditambah dia merupakan mahasiswa jurusan teknik mesin yang sudah pasti paham tentang seluk beluk mesin serta cara mengendarai mesin.
            Rute yang kami lalui adalah Joga-Magelang-Temanggung-Wonosobo-Dieng. Karena berangkat tengah malam, jalanan tampak lenggang dan sepi, sehingga perjalanan kami lebih cepat. Di daerah Temanggung kami sempat kebingungan arah, walaupun sudah menggunakan bantuan GPS, sehingga kami bertanya ke tukang becak mengenai arah menuju Dieng. Sebenarnya arah menuju Dieng dari Jogja tidak terlalu rumit, karena banyak plang di jalan yang menunjukkan ke arah tujuan.
            Selama perjalanan, obrolan ringan terus mengalir, bahkan diselingi canda dan tawa, sehingga tak satupun dari kami yang tertidur. Sampai di daerah Temanggung jalanan mulai berkelok dan menanjak. Tapi hal itu tidak mengurangi kenyamanan kami, karena mobil sudah dinahkodai oleh ahlinya. Bahkan kami menikmati seperti sedang naik roll coaster. Alhamdulillah ketika sampai dikawasan yang mulai menanjak memasuki daerah dataran tinggi, langit nampak cerah dan tidak tertutupi kabut. Sehingga perjalanan lebih lancar, aman dan nyaman. Karena perjalanan tengah malam yang sepi, kami sampai di Dieng sekitar pukul 02.45 WIB. Sekitar 2 jam 45 menit waktu perjalanan yang ditempuh.
            Sampai di pintu gerbang Dieng, kami sempat bertanya arah menuju Sikunir kepada petugas penjaga. Ketika jendela mobil dibuka, udara dingin yang menusuk langsung terasa. Mungkin hal itu juga yang menjadi alasan petugas penjaga pos begitu cepat menjelaskan arah ke Sikunir karena sudah kedinginan dan ingin cepat kembali ke posko penjaga. Setelah itu kami masuk kekawasan Dieng Plateau dan menuju arah Sikunir. Masuk kawasan Dieng, retribusi yang dibayar sebesar Rp5.000/orang, tapi jika turis lokal harga tersebut bisa dinego dengan alasan membawa rombongan banyak.
            Jalanan Nampak berkabut tipis, sesekali kendaraan juga terlihat lewat. Sekitar 5 km dari Sikunir, kami memutuskan untuk berhenti didepan masjid dengan maksud untuk beristirahat dan menunggu subuh, karena saat itu waktu masih menunjukkan pukul 03.00 WIB. Jadi kami berdelapan beristirahat didalam mobil, karena udara diluar begitu dingin, kita tidak berani tidur di masjid. Jalanan menuju Sikunir tidak begitu sepi, beberapa kendaraan nampak lewat, wajarlah karena saat itu malam minggu. Banyak wisatawan yang ingin mengejar golden sunrise seperti kami.

Puncak Sikunir dan Telaga Cebong
            Tak terasa adzan subuh berkumandang, satu persatu dari kami terbangun. Tapi setelah menunggu beberapa saat, masjid yang kami tuju untuk shalat subuh tak kunjung dibuka. Entah warganya masih tidur atau masjidnya sengaja ditutup. Akhirnya kami memutuskan untuk berangkat ke kawasan Sikunir. Ternyata jalan yang kami lalui tidak begitu nyaman, banyak lubang dan batu yang menghalangi jalan ditambah kondisi jalan yang menanjak. Harusnya objek wisata golden sunrise ini sangat penting untuk dibangun dan dirawat insfrastrukturnya, karena bisa menjadi devisa bagi warga Dieng.


Gambar 1. Di puncak Si Kunir 
Gambar 2. Sebuah Peringatan di Puncak Sikunir

            Sekitar 3 kilometer menempuh jalanan yang bergeronjal, kami memasuki Desa Sembungan yang sudah dijaga beberapa orang di pintu masuknya untuk membayar retribusi kawasan wisata. Di gapura Desa Sembungan, tertulis keterangan “Desa Tertinggi di Pulau Jawa”. Tulisan tersebut membuat kami lebih bersemangat untuk segera menaiki puncak Sikunir dan melihat golden sunrise. Sebelumnya kami mencari masjid terdekat untuk melaksanakan shalat subuh karena iqamah sudah dikumandangkan. Akhirnya kami menemukan masjid yang banyak disinggahi oleh para pencari golden sunrise.

Gambar3. Wisatawan Hunting Pemandangan di Puncak Sikunir

           Kami sampai dimasjid disaat jamaah subuh telah berlangsung, karena air untuk wudhu sangat sedikit mengalir, akhirnya antrian panjang terjadi. Beberapa wisatawan pencari golden sunrise memutuskan untuk shalat subuh di Sikunir, tapi rombongan kami tetap memutuskan shalat subuh di masjid. Seusai subuh, beberapa masyarakat menyapa ramah. Kami sempat mengobrol sebentar dan menanyakan tempat parkir terdekat dari Sikunir.
            Untuk mencapai Sikunir kita harus melewati pinggiran telaga Cebong terlebih dahulu. Ternyata hanya tinggal 1 km dari masjid yang kami singgahi, dan tempat parkirnya berada tepat di pinggir Telaga Cebong. Akan tetapi jalan yang kami lalui terbilang ekstrim. Karena penuh lumpur akibat hujan yang mengguyur serta bebatuan dan kerikil yang membuat kita harus ekstra hati-hati ketika melintasi. Jalur sepanjang 1 km tepat di pinggir Telaga Cebong juga hanya bisa dilalui 1 kendaraan sejenis mobil. Sehingga mobil yang akan berpapasan salah satunya harus mengalah dan menunggu sejauh 1 km.

Gambar 4. Pemandangan dari Puncak Sikunir

Gambar5. Pemandangan dari Puncak Sikunir 

            Tempat parkir untuk mobil seluas lapangan bola, tetapi hanya seperempatnya saja yang sudah dipasang konblok, sedangkan sisanya hamparan rumput beserta lumpur yang sebagian besar merupakan tanah gambut. Ternyata hari itu banyak wisatawan yang hunting golden sunrise di Sikunir. Terlihat setengah lapangan penuh oleh kendaraan. Karena langit mulai merekah merah, kami bergegas menuju puncak dengan mendaki mengikuti jalan setapak. Nampak beberapa wisatawan lain juga bergegas mendaki seakan tidak ingin sedetikpun ketinggalan indahnya golden sunrise di puncak Sikunir.
            Sekitar 15 menit mendaki bukit Sikunir, akhirnya kami mencapai spot yang bagus untuk melihat sunrise. Terlihat beberapa wisatawan baik turis lokal maupun turis interlokal sudah standby di tempat tersebut untuk melihat sunrise. Ternyata diatas bukit Sikunir terdapat beberapa spot yang telah dibangun sedikit insfrastruktur untuk wisatawan. Selang beberapa menit, matahari mulai muncul dari peraduan malamnya. Sinar kuningnya muncul dari awan yang mengambang dihorizon menawarkan sensasi pemandangan yang begitu luar biasa, pantas saja disebut golden sunrise. Semua nampak memantulkan cahaya warna emas, baik awan maupun pegunungan. Mulai nampak hamparan awan yang awalnya berwarna merah lama-kelamaan menjadi kuning. Puncak-puncak gunung di daerah Jawa Tengah dan sekitarnya mulai memunculkan kegagahannya. Sungguh pemandangan yang menabjubkan karena seakan kita dihipnotis sedang melayang diatas awan. Bagaimana tidak, bukit Sikunir memiliki puncak yang begitu tinggi, sehingga awan berada di bawah ketinggiannya.
            Jepretan puluhan kamera wisatawan berebut pemandangan yang langka ini. Langka bagi mereka yang datang dari luar daerah terutama didaerah dataran rendah atau perkotaan. Bahkan beberapa wisatawan standby dengan kamera DSLR atau handycam dan merekam kejadian epik tersebut dari awal hingga terbit sepenuhnya sang surya. Tak ketinggalan, kami pun ikut berebut foto bersama si matahari yang sedang terbit. Karena momen ini hanya sekian menit terjadi ketika sang surya mulai memunculkan wujudnya.
           Tak terasa matahari mulai meninggi, kami habiskan waktu untuk foto bersama dengan berbagai pose yang bervariasi. Ada hal menarik ketika kami mendaki Sikunir, beberapa teman kami tidak melihat indahnya golden sunrise di Sikunir. Karena ketika sampai puncak, matahari sudah meninggi dan sinar kuningnya sudah menghilang. Teman kami tersebut memarkir mobil terlebih dahulu. Karena kondisi tempat parkir yang becek, seperti lintasan offroad, maka proses pemarkiran membutuhkan waktu yang lama akibat antrian yang panjang. Kami juga sempat mengalamai kesulitan ketika melintasi tanah berlumpur yang dalam tersebut. Satu lagi teman kami terlambat sampai puncak karena memang kesusahan untuk mendaki.
            Ketika matahari mulai meninggi, kami baru sadar kalau tempat kami merupakan spot terendah untuk melihat golden sunrise. Maka kami berangkat menuju puncak yang lebih tinggi. Jalanan pendakian di Sikunir terbilang cukup terawat, karena jalan setapak sudah diberi pengaman kayu dan dibentuk menyerupai tangga. Beberapa spot untuk wisatawan juga dilengkapi papan keterangan seperti peringatan jurang, peringatan untuk menjaga kebersihan, dan lainnya.
            Sampai di puncak Sikunir terdapat beberapa tenda yang dibangun wisatawan. Di spot agak bawah yang pertama kita tempati, terdapat peringatan untuk tidak boleh bermalam dengan tenda ditempat tersebut. Tetapi berbeda halnya dengan di puncak. Tidak ada satupun larangan untuk bermalam. Usut punya usut, wisatawan seringkali mendaki puncak ketika dini hari atau lewat tengah malam. Sambil menunggu subuh, para wisatawan membangun tenda sementara untuk beristirahat. Shalat subuh dilakukan di Puncak Sikunir, sesuai shalat merupakan waktu yang tepat untuk bermuhasabah dengan alam sekaligus menanti golden sunrise yang akan muncul.
          Di Puncak Sikunir juga terdapat gazebo yang kurang terawat serta tempat duduk sederhana dari potongan batang potong kelapa. Kami sampai di Puncak ketika matahari sudah meninggi, waktu saat itu menunjukkan pukul 06.00 WIB, tetapi udara dingin yang menusuk seakan tak mau beranjak dari Puncak Sikunir. Di Puncak Sikunir kami sangat betah berlama-lama, hal serupa pasti akan dialami wisatawan lain. Hal ini karena pemandangan alam yang ditawarkan Puncak Sikunir begitu menabjubkan. Kita dapat melihat hamparan tanah Jawa di sekeliling Wonosobo. Bahkan kita dapat melihat puncak-puncak gunung seperti Merapi, Merbabu, Slamet, Sindoro, Sumbing dan lain lain. Karena suasana begitu cerah, maka tak ada bosannya kami mengambil gambar disana baik sendirian maupun bersama-sama.
            Kami menghabiskan waktu di Puncak Sikunir sekitar satu jam. Setelah bekal makanan habis, dan kami puas berfoto, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke tempat wisata lain. Tujuan wisata kedua yang akan kami kunjungi adalah Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Sebelum ke objek tersebut kami ingin mencari sarapan terlebih dahulu. Karena perjalanan menuju dan menuruni puncak ternyata begitu menghabiskan energi, terutama bagi orang yang kurang terbiasa mendaki gunung. Saat kami menuruni puncak, ternyata kami menemui beberapa rombongan wisatawan yang baru mendaki Sikunir. Wisatawan Sikunir tidak hanya mencari golden sunrise, tapi ada juga yang mencari pemandangan pagi hari, pikir kami, atau mungkin saja mereka telat datang untuk melihat sunrise.
          Saat menuruni Sikunir, kami sempat bertemu dengan petugas pembersih sampah yang unik. Petugas tersebut adalah seorang bapak yang nampak masih muda, penampilannya kucel dan awut-awutan. Tetapi di salah satu belokan, dia melakukan shalat dengan hanya beralaskan sajadah kecil untuk menahan wajah menyentuh tanah. Entah shalat apa yang diklakukannya, kami serombongan merasa aneh dengan gerak-gerik bapak tersebut. Karena semenjak awal kami sempat bertemu dengan bapak tesebut saat mulai mendaki. Dari pengakuan beberapa orang, bapak tersebut ternyata memiliki keterbelakangan mental, yang jelas kita selalu senantiasa berhati-hati ketika berkunjung ke suatu tempat yang asing bagi kita.
          Saat menuruni Sikunir, ternyata kami disuguhi pemandangan Telaga Cebong yang tersinari cahaya pagi matahari. Pemandangan tersebut begitu memanjakan mata, karena sekelilingnya yang hijau serta airnya yang jernih begitu sejuk dipandang mata. Andai saja suhu udara tidak dingin menusuk, pasti beberapa dari kami sudah berkubang di telaga tersebut. Di kaki bukit Sikunir terdapat sawah-sawah yang membentang hingga pinggir danau, tanaman yang dominan ditanam adalah kentang. Memang kentang termasuk salah satu komoditi yang banyak ditanam oleh masyarakat Dieng. Begitu keterangan yang kami peroleh dari obrolan dengan seorang warga.
            Sampai ditempat parkir, terdapat banyak kios yang menawarkan barang atau produk untuk wisatawan. Baik berupa makanan, merchandise, sarung tangan, tutup kepala, dan lain sebagainya. Artinya beberapa insfrastruktur pariwisata mulai dibangun, tetapi untuk kawasan Sikunir belum sepenuhnya memadai, hal ini menjadi tugas rumah bagi pemerintah pengelola kawasan wisata setempat. Selesai mengambil mobil dari tempat parkir, kami berdelapan masuk ke mobil dan menuju ke tempat wisata selanjutnya yaitu Telaga Warna. Keluar dari Desa Sembung kami sempat berfoto bersama didepan gapura desa tersebut. Ternyata selain Telaga Cebong dan Bukit Sikunir, terdapat objek wisata lain di desa tersebut seperti Curug Sikarim, Pertapaan Pakuwojo, Religi Makam Mbah Adam Sari, Sentra Home Industri Carica dan Keripik Kentang, Homestay serta Camping Ground.

Gambar 6. Telaga Cebong

Gambar 7. Kondisi Parkir Sikunir

Gambar 8. Sembungan Village

Telaga Warna dan Telaga Pengilon
            Setelah turun dari Sikunir, sekitar 5 km, kami melewati objek wisata yang pertama yaitu Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Akhirya karena waktu telah menunjukkan pukul 07.45 WIB, maka kami segera mencari sarapan di warung di Daerah Wisata Telaga Warna tersebut. Tempat wisata Telaga Warna memiliki dua tempat parkir yang cukup luas.
            Di warung makan, kami sempat mengobrol banyak dengan ibu penjualnya. Terutama membahas masalah kuliner di Dieng. Ternyata Dieng salah satu produsen cabe terbesar di Jawa. Tetapi cabe yang dimaksud adalah Cabe Bandung. Yaitu cabe besar berbentuk menyerupai tomat. Awalnya kami kira tomat, tapi ternyata cabe. Menurut penuturan si Ibu Pemilik Watung, cabe itu memiliki kepedasan yang baik, bahkan lebih pedas daripada cabe biasa yang berwarna merah atau hijau. Tapi karena saat itu posisi sedang sarapan, kami tidak berani menyantap atau mencobanya, takutnya nanti malah sakit perut dan mengganggu perjalanan. Selain cabe, kentang juga sangat sering diproduksi oleh masyarakat Dieng. Adapula satu tanaman khas Dieng yang disebut Purwaceng. Purwaceng merupakan tanaman unik yang dikonsumsi untuk menamah stamina ekstra bagi kaum pria.
            Setelah sarapan, kami berdelapan kemudian memasuki objek wisata Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Dua Telaga tersebut terdapat dalam satu kawasan wisata. Jalan masuk menuju telaga warna, di sebelah kanan dan kirinya sengaja dihiasi berbagai macam tanaman berbunga yang indah oleh pihak pengelola. Telaga warna hanya berjarak beberapa meter saja dari pintu masuk. Saat kami sampai di pinggir telaga, pemandangan di depan kami semuanya berwarna hijau, tak terkecuali air dari telaga warna.
            Dari penjelasan singkat yang tercantum dalam plang di pinggir telaga, Telaga Warna merupakan telaga yang memiliki warna yang unik akibat fenomena keluarnya gas alam dari dasar telaga. Maka tak heran jika terdapat banyak gelembung udara yang keluar dari dasar telaga, dibeberapa spot terasa bau menyengat dari belerang. Ketika air telaga disentuh, ternyata cukup hangat akibat aktivitas gas yang keluar dari perut bumi. Dari pinggir telaga, air nampak berwarna hijau muda bening, semakin ke tengah warnanya terdegradasi menjadi hijau daun. Dengan kombinasi warna yang seperti itu, telaga warna menawarkan pemandangan yang begitu indah dan menarik.
            Dipinggir telaga, banyak wisatawan mengabadikan perjalanan ke tempat tersebut dengan kamera. Beberapa wisatawan asing sempat kami tanyai dan kami ajak ngobrol. Seperti rombongan mahasiswi malaysia yang sengaja berlibur ke Dieng setelah kegiatan akademik di Indonesia. Adapula rombongan dari Bangkok, Thailand yang begitu bersemangat memegang kamera DSLR dan menjepret telaga warna dari berbagai sisi. Kami lantas mengitari Telaga Warna kesisi selatan, disana terdapat beberapa pedagang asongan yang menjual makanan ringan seperti jagung bakar, sagon, dll.
            Saya sempat mengobrol panjang dengan salah seorang penjual sagon. Tidak lain adalah seorang bapak yang tergolong cukup tua umurnya, beliau asli dari Wonosobo. Umurnya berkisar 60-an tahun. Sudah menjual sagon semenjak tahun 1990 atau sekitar 20-an tahun. Setiap paginya beliau berangkat dengan angkot dari Wonosobo menuju Dieng. Barang jualannya tentu ditinggal di Dieng karena berat jika dibawa pulang kerumah. Sagon bisa pula disebut gondes merupakan makanan khas Dieng. Bahan utamanya adalah kelapa yang dicampur tepung dan dikukus diatas wadah cetakan. Lantas tengahnya di taburi gula pasir dan ditekuk menyerupai terang bulan. Ketika turis Thailand lewat, kami mencoba untuk mengajaknya membeli sagon, karena tertarik akhirnya turis wanita tersebut membeli sagon.
            Ada kejadian menarik ketika menawarkan sagon ke turis asing tersebut, karena kami mengobrol dengan bahasa inggris, tanpa sadar saya berbicara dengan bapak penjual sagon menggunakan bahasa inggris, otomatis saja si Bapak celingak-celinguk kebingungan, dan beberapa pengunjung lokal ikut tertawa. Obrolan kami tak terasa mengundang perhatian banyak orang, tapi lumayan bisa menambah pemasukan buat si Bapak. Dari cerita si Bapak Penjual Sagon, kami tersentuh mendengar perjuangannya untuk bertahan hidup dari hanya menjual Sagon. Kami salut buat bapak tersebut yang selalu sabar dan ramah menghadapi pelanggan.
            Selanjutnya kami mengitari sisi utara Telaga Warna, ternyata di sisi utara Telaga Warna terdapat telaga lagi yang disebut Telaga Pengilon. Alasan disebut sebagai Telaga Pengilon karena permukaan telaga tersebut dapat memantulkan pemandangan pegunungan yang seakan-akan menyerupai cermin raksasa. Sebelum sampai di Telaga Pengilon, terdapat beberapa goa serta situs legendaris. Yaitu Batu Tulis, Goa Semar, Goa Pengantin, Goa Jaran dan Goa Sumur.
            Di depan Batu Tulis terdapat sebuah papan yang menjelaskan legenda keberadaan Batu Tulis, bahwa siapa saja orang tua yang memohon kepada Yang Maha Kuasa di tempat Batu Tulis tersebut agar anakanya bisa membaca maka doanya akan cepat terkabul. Di depan Batu Tulis juga terdapat patung yang menyerupai Gupolo, tapi tidak ada penjelasan tentangnya. Ada pula legenda Goa Jaran yang menceritakan bahwa zaman dahulu terdapar seekor kuda yang singgah di goa tersebut karena hujan lebat. Kuda tersebut singgah hingga keesokan harinya dan tertidur, ketika terbangun kuda tersebut sudah bunting, akhiranya orang-orang mempercayai bahwa siapa saja yang ingin memiliki keturunan supaya bersemedi di goa tersebut.
       Adapula Goa Semar yang sering digunakan untuk pertapaan agar memperoleh kesaktian. Dari seorang pengunjung bercerita ke saya, konon dahulu Pak Soeharto Presiden kedua RI pernah bertapa di goa tersebut. Maka tidak heran kalau bapak Soeharto bisa menjadi Presiden begitu lama, tapi itu masih konon. Goa lain yaitu Goa Pengantin sering digunakan untuk ritual pengantin agar langgeng pernikahannya. Sedangkan Goa Sumur didalamnya terdapat sumber mata air berupa sumur yang jernih. Sumber mata air ini disebut “Tirta Prawitasari”.
            Posisi goa-goa dan batu tulis tersebut, tepatnya terletak diantara Telaga Warna dan Telaga Pengilon, sehingga tempat tersebut menyerupai sebuah pulau. Pohon-pohon yang besar nampak banyak menghiasi kawasan tersebut, serta batu-batu khas Dieng yang berada di setiap pinggiran jalan setapak kawasan wisata. Tidak heran jika kita berkunjung kesana, udaranya sangat sejuk serta teduh akibat banyak pohon yang rindang. Beberapa pengunjung memilih bercengkerama lama sambil mengobrol atau menghabiskan bekalnya.

Gambar 9. Telaga Warna

Gambar 10. Wawancara dengan bapak penjual sagon

Shalat Jum’at di Masjid Besar Dieng
            Setelah puas melihat beberapa situs bersejarah di kawasan Telaga Warna, akhirnya kami beranjak pergi karena waktu semakin dekat dengan shalat jum’at. Hampir saja kami lupa bahwa hari itu adalah hari jum’at karena terlalu asyik dengan suasana di Dieng. Kami meninggalkan Telaga Warna sekitar pukul 11.00 WIB, dan menuju masjid Dieng yang letaknya dekat dengan pasar Dieng. Karena perempuan dari rombongan kami tidak ikut shalat jum’at, akhirnya kami antarkan ke Kawasan Candi Dieng terlebih dahulu untuk shalat dan istirahat disana. Sedangkan untuk para pria menuju ke masjid kembali.
            Sampai di masjid Dieng, Jama’ah shalat jum’at mulai memenuhi bagian dalam masjid. Tidak hanya penduduk lokal, bahkan banyak pula wisatawan yang turut dalam shalat Jum’at. Masjid Dieng ternyata megah dan bagus. Arsiteknya begitu diperhitungkan agar terlihat elegean. Terdapat empat menara di setiap pojoknya, dan satu kubah besar ditengahnya. Pintu masuk dibuat sedemikin rupa besarnya, sehingga orang merasa tersambut dan diajak untuk berjamaah didalamnya. Tempat wudhunya berada di sisi selatan. Ketika masuk, atapnya yang tinggi membuat suasana didalam masjid begitu sejuk dan nyaman. Bagian dalam dan bagian terasnya sama besar. Warnanya pun tidak monoton, banyak kombinasi warna yang cerah. Dinding-dindingnya dipenuhi oleh kaca yang transparan, sehingga memberikan efek luas pada masjid ini.
            Shalat jum’at dimulai pukul 12.00 WIB. Shalat jum’at di masjid Dieng tersebut memegang tradisi shalat jum’at Nahdatul Ulama. Dimana ada pemukulan bedug sebelum adzan yang paanjang, dan adzan dilakukan 2 kali. Alhamdulillah shalat jum’at berjalan dengan lancar dan khidmat. Walaupun saat itu matahari tepat di atas langit, tapi tidak mengurangi kesejukan udara Dieng. Bahkan air wudhu yang kami gunakan terasa sangat dingin ketika disentuh.

Gambar 11. Masjid Dieng

Kawasan Candi Dieng
            Seusai shalat jum’at kita langsung menuju Kawasan Candi Dieng. Untuk masuk ke Kawasan Candi Dieng, kita dapat membayar tiket masuk sekaligus dengan objek wisata Kawah Sikidang. Tiket masuk tersebut dijual seharga Rp10.000/orang. Akhirnya kami bertiga (para pria) bertemu dengan rombongan perempuan yang berjumlah 5 orang. Akhirnya rombongan memutuskan segera masuk, karena nampak dari ufuk, mendung mulai mendekati kawasan Dieng. Sedangkan saya dan iqbal memilih untuk mengobrol dengan petugas penjaga pos masuk.
            Pak arifin namanya, beliau selain bertugas menjaga pos tiket masuk Kawasan Candi Dieng juga bertugas sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banjarnegara. Banyak informasi yang kami peroleh dari beliau. Sekitar 45 menit kami mengobrol panjang ngalor-ngidul. Bapaknya ramah dan sangat welcome ketika ada orang yang bertanya mengenai pariwisata Dieng.
            Terhitung sejak 1994 beliau telah menjadi pegawai di Kepariwisataan, sehingga sudah 20 tahun beliau berkecimpung didunia pariwisata. Umurnya saat ini 43 tahun, tetapi tak mengurangi semangatnya melayani wisatawan yang berkunjung ke kawasan Dieng. Hal ini terbukti ketika seorang turis dari Perancis datang. Beliau langsung memohon izin untuk melayani sebentar. Dengan semangat, panjang lebar beliau menjelaskan wisata di kawasan Dieng kepada turis tersebut. bahkan beliau menggratiskan tiket untuk esok harinya bila ingin berkunjung ke Kawasan Candi Dieng lagi. Tarif yang dikenakan pun sesuai dengan yang tertera di tiket, plus si bapak memberikan denah wisata di Dataran Tinggi Dieng. Hal ini berbeda dengan frame sebagian besar orang, ketika ada turis yang berkunjung maka diperas oleh pelaku pariwisata, tentu ini akan merugikan dunia pariwisata kita. Tapi tidak halnya bagi Pak Arifin, saya melihat Si Bapak melayani dengan setulus hati. Besar harapan di hati saya, banyak pelaku pariwisata yang memiliki sifat seperti Pak Arifin. Bahkan Si Turis sempat curhat tentang kondisi penginapannya yang mahal tetapi fasilitasnya mengecewakan. Tentu dialog yang mereka gunakan adalah bahasa inggris, bukan bahasa jawa.
            Setelah turis datang kami melanjutkan obrolan lagi. Si bapak menjelaskan bahwa kawasan wisata di Dieng terbagi menjadi 2 sektor yang terbagi di 2 kabupaten yakni Wonosobo dan Banjarnegara. Dieng merupakan dataran yang terbentuk akibat letusan puncak gunung berapi zaman dahulu yang membentuk kawah luas. Tetapi masih tertinggal beberapa puncak gunung yang saat ini membentuk bukit. Awalnya Dieng yang memiliki arti tempat tinggalnya para dewa, ditempati oleh penduduk beragama Hindu. Sehingga banyak candi dan tempat ritual yang dibangun. Tetapi karena curah hujan yang tinggi, serta banyaknya kawah dikawasan Dieng, maka sering terjadi banjir yang akhirnya membentuk telaga-telaga atau danau. Setelah banyaknya banjir yang terjadi, hampir seluruh warga mengungsi ke dataran rendah. Hal inilah yang menyebabkan Dataran Tinggi Dieng sempat menjadi tanah yang tertinggal dan tak berpenghuni. Tetapi kadangkala dikunjungi oleh bekas warganya untuk beribadat atau mengadakan ritual.
            Berlanjut ke cerita dari Pak Arifin mengenai kondisi saat ini, dahulu ketika Si Bapak memutuskan untuk terjun ke dunia wisata lebih karena saat itu tidak ada orang yang mau. Dunia wisata masih menjadi hal asing dan tabu bagi masyarakat Dieng yang lebih memilih bertani. Tapi lama kelamaan banyak orang yang mulai mengejar dunia wisata. Zaman ini beliau sangat menyangkan orang-orang disekelilingnya yang memiliki filosofi hidup yang salah. Yaitu hidup tidak untuk mencari makan demi bertahan, tetapi mencari harta sebanyak-banyaknya. Akibatnya beberapa pelaku pariwisata menggunakan cara yang tidak baik demi memperoleh harta, misalnya dengan menaikkan harga tiket, nilep uang retribusi dan lain sebagainya. Lebih parah dari itu, beberapa masyarakat Dieng berlomba lomba memperluas sawah, akibatnya kawasan yang dahulunya hutan mulai tergusur menjadi tanah pertanian. Ini dapat merusak ekosistem kawasan Dieng, terbukti dengan semakin sedikitnya hewan hutan yang terlihat serta sumber air semakin kering. Kita juga membahas suasana pemilu yang baru saja terlewati, beliau bercerita tentang kekecewaannya terhadap beberapa caleg terpilih dari kawasan Dieng. Contohnya saja ada seorang caleg terpilih yang mengadakan syukuran dengan pesta miras bersama warga, sungguh memprihatinkan.
            Kembali ke dialog tentang pariwisata kawasan Dieng. Upaya konservasi alam untuk kawasan Dieng masih minim dilakukan. Pemerintah tak tegas dalam menghadapi masyarakat yang nakal membangun tanah pertanian sembarangan. Pemerintah lebih fokus terhadap proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi yang ada di Dieng. Pak Arifin sempat juga menasehati saya sebagai seorang pemuda yang akan meneruskan perjuangan bangsa ini. Bahasanya sangat menyentuh ketika sampai sesi ini, harapannya besar kepada pemuda-pemuda masa kini agar kelak bisa membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Karena waktu yang terbatas akhirnya saya berpamitan untuk masuk mengunjungi Kawasan Candi Dieng.
            Karena gerimis yang mengguyur, saya dan iqbal hanya masuk sebentar ke kawasan candi Dieng. Ketika pertama masuk kami bertemu dengan kompleks candi Arjuna. Dari penjelasan Pak Arifin, saat ini tersisasa 8 candi. Nama-nama candi tersebut diambil dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Karena hujan semakin deras akhirnya kami memutuskan kembali ke mobil. Saat itu waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB. Ternyata teman-teman yang lain sudah menunggu untuk beranjak mencari makan siang. Sebelum mencari makan siang, kami bersepakat untuk mengunjungi Kawah Sikidang yang satu paket dengan Kawasan Candi Dieng tiketnya.

Gambar13. Kompleks Candi Arjuna 

Gambar 14. Wawancara dengan Bapak Arifin

Gambar 15. Bapak Arifin melayani turis Perancis 

Kawah Sikidang
            Kawah sikidang tak jauh lokasinya dari Kawasan Candi Dieng, sekitar 1 km. Kawah Sikidang menawarkan keunikan sumber air dan lumpur panas yang keluar dari perut bumi. Masuk ke tempat parkirnya, kita sudah bisa merasakan bau belerang yang menyengat. Bagi yang kurang terbiasa, hal ini bisa sangat mengganggu sekali. Kawasan Sikidang ternyata lebih ramai dari Kawasan Candi Dieng menurut pengamatan kami. Kios-kios nya pun lebih banyak dan beragam. Sebelum masuk saya sempat membeli kentang dan jamur goreng bersama temen-temen untuk mengganjal perut. Kentang dan jamur tersebut merupakan produksi asli dari warga Dieng.
            Masuk mendekati Kawah Sikidang, kita berdelapan menggunakan masker penutup hidung, tapi bukan penutup muka. Tapi baru setengah perjalanan, teman kami nining kembali ke mobil karena tidak kuat dengan bau belerang yang menyengat. Beberapa ada yang menemani dan yang lainnya maju mendekati kawah Sikidang. Semakin mendekati kawah semakin terasa bau belerangnya terutama ketika asap tebal berwarna putih yang keluar dari Sikidang mengarah ke kami. Sepanjang jalan menuju kawah, banyak pula gas-gas yang keluar dari celah bebatuan. Tak jauh dari lokasi kawah, terdapat pembangkit listrik tenaga panas bumi yang mengeluarkan asap putih tebal dan suara turbin berputar yang menyerupai turbin pesawat terbang. Dua kepulan asap yang muncul dari dua tempat yang berbeda tersebut terlihat sangat menarik jika kita melihat dari atas bukit di sebelah Kawah Sikidang beraada.
            Terdapat legenda yang menjelaskan seluk beluk terbentuknya kawah sikidang. Legenda ini diceritakan di papan informasi yang terdapat di kawasan Sikidang. Nama Sikidang berasal dari legenda seorang raja bernama Kidang Garungan yang memiliki kepala berbentuk kidang (rusa). Raja tersebut hendak meminang Ratu Shinta Dewi yang terkenal akan kecantikannya. Namun ratu tersebut menolak secara halus. Dia memberikan syarat agar dibuatkan sumur yang dalam. Saat Sang Raja telah menyelesaikan sumur, Ratu bersama para pengawalnya mengubur Raja Kidang Garungan yang masih berada di dasar sumur. Raja yang marah berusaha keluar dari dalam darah tanah. Kekuatannya mengakibatkan bumi bergetar dan keluarnya uap serta air panas yang berpindah-pindah layaknya seekor kidang (rusa) yang melompat-lompat. Dalam kemarahannya, Raja Kidang Garungan mengutuk Sang Ratu bahwa semua keturunannya berambut gimbal.
            Saat kita mendekati kawah sikidang, pengamanan diseputar kawah masih sangat minim. Hanya terdapat pembatas bambu yang rapuh dan tidak rapat. Ini berbahaya jika kita membawa anak kecil ke tempat itu, harus penuh penjagaan. Kawah sikidang bila diamati merupakan lumpur bercampur air yang keluar dari perut bumi secara terus menerus, suhunya bisa mencapai 80-100 0C. Di sekitar kawah sikidang terdapat beberapa penjual yang menawarkan batu belerang atau batu pegunungan berapi. Adapula yang menawarkan fasilitas foto bersama dengan naik motor cross atau dengan kostum yang unik. Setelah puas melihat dan mengamati Kawah Sikidang, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke mobil.
            Sekembalinya ke parkir mobil, beberapa teman kami membeli buah tangan yaitu carica dan kentang. Karena penjualnya baik hati, kita diberi hariga Rp20.000 per dusnya yang berisi 6 buah pcs carica. Harga ini terbilang murah mengingat jika membeli di luar biasanya seharga Rp25.000 per dus. Saya juga sempat mengobrol dengan penjual bambu unik khas Dieng. Pak Nur Rachmat namanya, usia beliau sudah 50 tahun. Beliau menjual tanaman-tanaman bonsai yang apik dan unik. Selain itu beliau juga menjual Pringgodani yang sering dipakai untuk hiasan. Pringgodani merupakan bambu yang berukuran kecil, berwarna kuning dan halus. Akhirnya setelah urusan selesai kami meninggalkan Kawah Sikidang sekitar pukul 14.30 WIB.

Gambar 12. Didepan Kawah Sikidang 

Dieng Plateau THEATER
            Sebelum meninggalkan Dieng, kami bersepakat untuk mengunjungi satu objek lagi, yaitu Dieng Plateau Theater. Objek wisata yang terletak di dekat Telaga Warna ini menawarkan fasilitas audio visual untuk menonton film mengenai Dataran Tinggi Dieng. Tiket masuk untuk menonton film tersebut seharga Rp4.000/orang. Film di putar hampir setiap waktu tanpa menunggu batas minimal pengunjung. Kami berdelapan masuk ke ruang theater yang menyerupai bioskop tersebut, tentunya setalah membayar tiket. Film yang diputar berdurasi sekitar 25 menit.
            Film tersebut menceritakan sejarah Dieng, persis seperti yang diceritakan Pak Arifin Sebelumnya. Selain itu mendeskripsikan kondisi alam Dieng, kawasan wisata yang menarik untuk dikunjungi, serta budaya dan sosial masyarakat Dieng. Ternyata kami baru sadar, baiknya yang pertama kali dikunjungi adalah Dieng Plateau Theater agar kita mendapat informasi yang lengkap mengenai Dieng dan selanjutnya memutuskan objek mana yang akan dikunjungi terlebih dahulu. Karena dalam waktu sehari waktu yang dibutuhkan sangat kurang untuk mengunjungi seluruh objek wisata di Dieng.
            Setelah melihat film tentang Dieng, kami mendapat banyak pengetahuan tentang kawasan unik di tempat paling tinggi di Tanah Jawa tersebut. Diceritakan pula dahulu sempat terjadi bencana letusan di daerah Dieng yang menyebabkan ratusan korban jiwa meninggal. Ini menandakan bahwa kita harus tetap berhati-hati dan waspada di balik pesona alam Dieng, bahwa Deing masih termasuk gunung berapi yang aktif. Tetapi tidak perlu khawatir, karena Badan Meteorologi dan Mitigasi Bencana selalu memantau aktivitas berapi kawasan Dieng yang merupakan gunung berapi dengan aktivitas yang sangat rendah. Setelah puas berkunjung kami memutuskan untuk kembali ke Jogja tercinta.

Perjalanan Pulang
            Untuk kembali ke Jogja kami menempuh rute yang sama saat berangkat. Karena kami kembali sore hari, kondisi jalanan padat merayap, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pulang lebih lama ketimbang berangkat. Ditambah ketika sampai daerah perbatasan Wonosobo-Temanggung kabut menyelimuti kawasan tersebut, sehingga kita harus ekstra hati-hati ketika melewati jalanan berliku. Kami memutuskan untuk makan sore di Temanggung. Makan sore yang kami lakukan sebagai ganti makan siang yang kelupaan. Kami semapt mampir di pasar Wonosobo untuk mencari jeruk baby tetapi tidak ketemu.
            Alhamdulillah perjalanan lancar walaupun membutuhkan waktu yang lebih lama. Kami sampai di jogja sekita pukul 22.30 WIB. Teman-teman kami selanjutnya diantarkan satu persatu ke kediamannya. Sedangkan saya dan iqbal yang terkahir mengembalikan mobil ke tempat penyewaan. Karena sewa mobil melebihi batas waktu, kami dikenakan charge tambahan. Tetapi karena bapak sang pemilik mobil begitu baik, kami dikenakan charge sekedarnya saja.
            Dari perjalanan ini kami mendapatkan banyak pelajaran berharga bagaimana bersyukur terhadap kondisi alam yang diberikan kepada negeri ini. kami berfikir kenapa harus jauh-jauh ke laur negeri untuk berwisata, di negeri kita sendiri saja begitu banyak tempat ajaib hasil karya Sang Pencipta yang begitu menabjubkan. Tinggal bagaimana kita menjaganya dan memeliharanya sehingga bisa digunakan sebaik-baiknya untuk kehidupan manusia. Sampai berjumpa diperjalanan yang lain. Setiap perjalanan selalu meninggalkan jejak dan memori yang indah. Bahkan ada quote menarik “Travel is the only thing you buy that makes you richer”. Bukan kaya material yang dimaksud, tetapi kaya pengetahuan dan hati kita semakin kaya untuk mensyukuri anugerah yang ada. Semoga bermanfaat. (Azr)

Gambar 16. Dieng Plateau Theater

Posting Komentar untuk "Menembus Batas 1: Dieng Plateau"