Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menembus Batas 3: Pulau Sempu

EKSPEDISI KE CAGAR ALAM PULAU SEMPU

Para Petualang Pulau Sempu

            Kali ini saya melakukan ekspedisi ke kawasan cagar alam Pulau Sempu, Kabupaten Malang. Saya dibersamai oleh enam orang teman, yaitu Nining, Kyki, Gama, Ammar, Iqbal, dan Erwan. Styaningsih Ermawati (Nining), Gama Setyoningsih, Ammar Fauzan dan Erwan Aditya adalah mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta. Sedangkan Iqbal Amrullah berasal dari universitas yang sama dengan kami, hanya berbeda fakultas, yaitu Fakultas Teknik.
            Kami bertujuh berangkat dengan menggunakan mobil avanza pada pukul 22.00 WIB dari Yogyakarta. Sebelumnya kami melakukan persiapan di rumah kontrakan milik saya dan Ammar di kelurahan Condong Catur, Sleman. Barang yang kami bawa cukup banyak, terutama peralatan camping selama dua hari satu malam. Peralatan kelompok seperti sleeping bag, alat penerangan, matras, alat masak, dll, dibawa dengan menggunakan dua buah tas carrier. Nining dan Erwan datang ke kontrakan kami pukul 20.30 WIB dan membantu menyiapkan perlengkapan yang kami bawa. Sekitar pukul 21.00 WIB, kami berangkat untuk menjemput Gama, Kyki dan Iqbal.
            Pertama kami menjemput Gama di kostnya yang berada di daerah Karang Malang, dekat UNY. Tidak menunggu lama setelah kami sampai disana, Gama turun dari kamar kostnya yang berada di lantai dua dan segera masuk ke dalam mobil. Selanjutnya kami menjemput Kyki di rumahnya di Jalan Palagan Tentara Pelajar. Persiapan Kyki untuk berangkat cukup mendadak, karena kami baru memberitahunya sore tadi setelah salah satu teman yang harusnya ikut serta membatalkan untuk ikut. Setelah menunggu beberapa menit dan pamit kepada orang tuanya, kami melanjutkan perjalanan untuk menjemput Iqbal di rumahnya di kelurahan Kadipaten Lor, Kraton. Setelah menjemput Iqbal, kami langsung menuju ke Kota Malang dengan Iqbal sebagai sopirnya.
            Perjalanan sempat terhenti ketika kami melewati kawasatan hutan Ngawi. Polisi memberhentikan mobil kami karena dianggap melanggar marka jalan. Polisi di daerah Ngawi memang terkenal ketat dalam menjaga aturan lalu lintas walaupun tanpa sengaja melanggar. Selama melewati kawasan tersebut, tampak satu atau dua kendaraan juga diberhentikan akibat melanggar aturan lalu lintas. Tak terasa kami sampai di Kabupaten Jombang ketika memasuki waktu subuh atau pukul 04.30 WIB. Kami singgah sejenak di Masjid Baitul Mukminin, Alun Alun Mojo Agung, Jombang, untuk melaksanakan shalat subuh. Seusai shalat subuh kami bertanya kepada warga setempat tentang arah menuju Kota Malang yang bisa dilalui dengan cepat. Atas saran warga, kami menuju Kota Malang melalui jalur perbukitan Pujon yang nanti tembus ke Kota Batu.
             Perjalanan melewati perbukitan Pujon begitu mengesankan. Pemandangan bukit-bukit yang hijau nan asri memanjakan mata kami, apalagi ketika kami melewati waduk Selorejo. Udara pagi begitu sejuk kami rasakan, tak satupun dari kami yang tidur selepas subuh, kesemuanya menikmati pemandangan perbukitan disembari obrolan renyah yang mengundang canda tawa diantara kami. Nampak masyarakat sekitar waduk memulai aktivitas paginya di tengah kabut tipis yang menyelimuti. Niat hati ingin singgah sejenak ke waduk tersebut, akan tetapi kami dikejar waktu untuk sampai pantai Sendang Biru siang nanti.
            Akhirnya kami sampai di Kota Malang pukul 09.00 WIB. Sesampainya disana kami berkunjung ke tempat saudaranya Nining di Jalan Ir. Rais, mas Ian namanya. Lantas mas Ian memandu kami ke tempat peminjaman peralatan adventure. Kami sengaja meminjam peralatan camping di Kota Malang, agar biaya sewanya tidak terlalu tinggi karena durasi waktu peminjaman. Peralatan yang kami pinjam berupa kompor gas portable dan 2 buah tenda dome. Setelah mengantarkan mas Ian kembali ke rumahnya kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Sendang Biru, Kabupaten Malang.
            Sampai di perbatasan Kota Malang, kami singgah terlebih dahulu untuk sarapan di sebuah warung soto depan rumah sakit Angkatan Darat Soerpraoedn. Kami juga sempat ke pasar Sukun untuk membeli garam krosok dan panci. Kami meninggalkan Kota Malang sekitar pukul 10.30 WIB. Semakin mendekati pantai Sendang Biru, jalanan semakin berkelok dan naik-turun. Wajar saja, karena untuk menuju pantai Sendang Biru, kami harus melewati kawasan perbukitan kecamatan Sumbermanjing Wetan. Pemandangan yang disuguhkan di perbukitan tersebut, tidak kalah dengan pemandangan yang kami jumpai di Pujon pagi tadi.
            Kami sampai di Pantai Sendang Biru yang berjarak 80 km dari Kota Malang pukul 12.45 WIB. Sesampainya disana kami mengurus izin di Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Pulau Sempu yang berjarak 100 meter dari pintu masuk Pantai Sendang Biru. Kami bertemu langsung dengan Kepala BKSDA Pulau Sempu, Bapak Setiadi. Dari penuturan Bapak Setiadi, kami baru mengetahui bahwa yang boleh memasuki Pulau Sempu bukan sembarang orang. Pulau Sempu bukanlah tujuan wisata, melainkan cagar alam yang dijaga kelestariannya dari pengrusakan manusia. Untuk memasuki kawasan tersebut harus memiliki Surat Izin Masuk Kawasan Konservai (SIMAKSI) yang diurus di Kantor BBKSDA Jawa TImur. Sayang, surat izin resmi dari Dinas Pendidikan Provinsi DIY yang kami bawa tertinggal di Jogja, sehingga kami harus bernegosiasi cukup lama dengan Bapak Setiadi untuk mendapatkan izin masuk ke Pulau Sempu.
            Setelah bernegosiasi dengan Pak Setiadi selama setengah jam, akhirnya kami mendapat izin untuk masuk ke kawasan konservasi Pulau Sempu dengan syarat nantinya menyusulkan surat dan laporan resmi perjalanan kepada beliau. Tidak lupa beliau memberikan nasehat ketika memasuki Pulau Sempu nanti untuk menjaga sikap agar tidak merusak alam, memperhatikan arahan pemandu agar tidak tersesat dan membawa sampah keluar pulau. Pak Setiadi juga menyiapkan pemandu untuk kami, serta menyarankan menyewa sepatu khusus yang cocok digunakan untuk kondisi jalan di Pulau Sempu yang berlumpur. Sepatu yang kami sewa bentuknya mirip sepatu bola, dengan tonjolan-tonjolan kecil di bagian bawahnya.
Lagi nyebrang ke Pulau Sempu
            Pemandu yang kami sewa adalah seorang bapak keturunan Sulawesi yang telah lama tinggal di Malang, akibatnya bahasa Jawa yang digunakan sering tercampur dengan logat Sulawesi yang masih kental. Cukup unik jika kami mendengar bapak Josman (nama bapak tersebut) berucap. Kami diberi waktu untuk mandi, shalat, makan dan bersiap diri selama dua jam. Terdapat musholla dengan fasilitas empat kamar mandi serta warung makan yang berjejer di sepanjang pantai Sendang Biru yang bisa kami manfaatkan. Saat kami makan siang, nampak satu-dua kelompok datang dan pergi dari arah pulau Sempu menggunakan perahu. Menurut penuturan penjaga pintu masuk pantai Sendang Biru, terdapat 4 kelompok yang sudah masuk ke Pulau Sempu hingga siang hari.
            Pukul 15.30 WIB kami berangkat menggunakan perahu nelayan untuk menyeberang ke Pulau Sempu. Waktu yang ditempuh tidak lama, hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di Pulau Sempu, karena jarak antara Pantai Sendang Biru dengan Pulau Sempu berkisar satu kilometer. Untuk menyewa pemandu kami harus membayar sebesar Rp100.000,-, tetapi karena kamivberangkat terlalu sore, atau lewat jam 14.00 WIB, kami harus membayar biaya tambahan sebesar Rp50.000,-. Sedangkan sewa perahu untuk menyebrang, kami harus membayar Rp130.000,-, harga itu sudah termasuk ongkos pulang pergi. Nahkoda perahu seorang bapak yang ramah dan memiliki tubuh gempal serta berkulit agak gelap. Beliau meminta kami untuk mencatat nomor HP yang tertera di atap perahu agar bisa menghubunginya untuk menjemput kami. Walaupun sinyal sulit didapat, masih terdapat satu provider yang masih memiliki sinyal kuat meski di ujung pulau.
            Sampai di Pulau Sempu, waktu menunjukkan pukul 15.45 WIB. Selanjutnya kami akan menyusuri hutan Pulau Sempu untuk mencapai Segara Anakan yang berada di ujung pulau. Menurut Pak Josman, waktu normal untuk menempuh perjalanan ke Segara Anakan sekitar satu jam. Jika tidak beruntung, perjalanan dapat memakan waktu berjam jam, bahkan pernah suatu rombongan membutuhkan waktu enam jam lebih karena tidak kuat berjalan. Sampai di pos pintu masuk Pulau Sempu kami bertemu rombongan yang akan keluar dari pulau. Anggota rombongan tersebut nampak lelah dengan kondisi pakaian yang penuh lumpur. Dari obrolan dengan mereka, jalan yang akan kami lalui nanti penuh dengan lumpur karena kondisi tanah becek pada musim hujan. Hal inilah yang menyebabkan perjalanan kami akan lebih lama akibat kondisi jalan yang sulit.
Setelah bersiap untuk masuk hutan, datang rombongan lain yang belakangan kami ketahui berasal dari Jakarta untuk turut masuk ke Pulau Sempu. Rombongan tersebut mendahului kami untuk masuk ke hutan Sempu dengan anggota rombongan sekitar 15 orang. Kami bertujuh berdoa terlebih dahulu demi kelancaran aktivitas yang akan kami lakukan selama dua hari di Pulau Sempu. Seusai berdoa, dengan semangat kami memasuki hutan Sempu menuju Segara Anakan.
            Baru beberapa meter kami memasuki hutan Sempu, jalan setapak yang penuh lumpur langsung menyapa kami, bahkan beberapa membentuk kubangan air hujan yang dalamnya bisa mencapai setinggi lutut. Kyki yang kami kuatirkan mengalami kesulitan untuk menempuh medan ini, kami tempatkan di belakang pemandu. Kyki memang anggota kelompok kami yang memiliki badan paling besar, wajar saja kami mengkawatirkan dia jika nanti mengalami kelelahan dalam perjalanan. Tapi di satu jam pertama perjalanan kami, Kyki dengan gesitnya mengikuti langkah pemandu menyusuri jalanan berlumpur. Saya dan teman lelaki lainnya yang berada paling belakang dalam rombongan kewalahan untuk mengikuti jejak mereka. Hal ini karena beban bawaan yang kami tanggung lebih banyak dibandingkan teman perempuan kami.
Saya dan Erwan menjinjing masing-masing satu buah tas carrier yang beratnya hampir menyaingi berat badan tubuh saya, maklumlah saya termasuk anggota kelompok yang memiliki tubuh paling kecil. Sedang Iqbal memikul dua tas kresek besar yang berisi peralatan masak dan persediaan air minum kami selama di pulau Sempu. Ammar membawa satu buah tas dan sebuah tenda, dia mengaku menyerah ketika ditawari untuk membawa tas carrier.
            Setelah satu jam perjalanan kami tempuh, kelelahan mulai kami rasakan terutama rombongan lelaki yang membawa banyak perlengkapan kelompok. Kami sering tertinggal dengan langkah Pak Josman dan Kyki, bahkan kami paling banyak meminta istirahat di tengah jalan. Pundak yang kami gunakan untuk membawa tas mulai terasa sakit, tak jarang dari kami terpeleset oleh akar-akar tanaman yang menjuntai keluar tanah. Pak Josman telah mengistruksikan kepada kami untuk tidak menginjak akar tersebut, karena licin dan dapat membuat kami jatuh. Tetapi siapa sangka, lumpur menutupi penampakan akar tersebut, sehingga hampir dari kami semua pernah terpeleset kecuali Pak Josman yang sudah ahli.
            Mencapai setengah perjalanan, jalan setapak yang kami lalui tetap tidak berubah. Khas jalanan perbukitan naik turun dengan tanaman yang tinggi menjulang sejauh mata memandang. Memang tanaman disini sangat lebat, wajar disebut hutan tropis. Jika melihat ke bawah, semak belukar merajalela sedang jalan setapak yang kami tempuh penuh lumpur dan kubangan air. Area yang tidak ditumbuhi tanaman kebanyakan batu karang yang tajam dan berbahaya. Maka selama perjalanan kami harus berhati-hati agar tidak terluka akibat goresan batu karang atau jatuh karena jalanan licin.
Semakin dalam memasuki hutan, suara hewan liar sering kami dengar sahut-menyahut. Sebagian besar suara monyet yang bergelantungan di pohon sambil mengawasi kami. Rombongan dari Jakarta yang sudah terpisah jauh terdengar ikut menirukan suara monyet. Entahlah, mungkin mereka mencari hiburan atau sensai di tengah kesunyian hutan.
            Setelah lewat dua jam, kami sudah melewati setengah perjalanan menuju Segara Anakan. Hari mulai gelap, membuat kami harus lebih berhati hati menapakkan kaki ke dalam lumpur. Kyki mulai dilanda kelelahan, dan kekhawatiran kami mulai muncul. Pak Josman terus menyemangati kami untuk terus berjalan, karena jika hari sudah gelap, perjalanan kami akan semakin lama akibat medan yang kami lalui tidak terlihat. Mencapai tiga per empat perjalanan, Segara Anakan sudah mulai nampak. Kami harus menyusuri pinggir Segara Anakan untuk mencapai kawasan yang bisa dibangun tenda. Waktu menunjukkan pukul 18.00 WIB, jalan setapak yang kami lalui mulai tidak terlihat sehingga kami harus menggunakan senter.
            Jalan setapak di pinggir Segara Anakan ini cukup berbahaya, karena kondisinya diapit oleh bukit dan jurang. Walaupun jurang di sisi jalan tidak dalam, tetapi banyak batu karang yang tajam dan berbahaya jika kami jatuh. Kyki mulai merasakan kelelahan yang luar biasa, bahkan hampir menyerah. Tidak hanya Kyki, hampir dari kami semua terkuras staminanya selama menempuh jalan yang tergolong ekstrem ini.
Kami beristirahat di pinggiran jalan yang curam cukup lama untuk mengembalikan stamina. Kami memaksa diri untuk berjalan lagi, karena Pak Josman menuturkan jika tempat yang kami tuju sudah dekat. Saya sendiri sempat terpeleset dan hampir jatuh ke dalam Segara Anakan yang dipenuhi batu karang di pinggirnya. Kondisi gelap gulita menyebabkan kami berjalan sangat pelan bahkan terkadang mengesot di jalanan yang turun.
            Setengah jam berlalu, waktu menunjukkan pukul 18.30 WIB, akhirnya kami sampai di camping ground Segara Anakan. Kami berteriak senang dapat merasakan pasir pantai dan dinginnya air laut. Nampak di camping ground belasan tenda telah didirikan oleh kelompok petualang lainnya. Beberapa tenda sudah membangun perapian untuk memasak makan malam. Kami pun tak sabar untuk menyantap makan malam, setelah perjalanan melelahkan yang kami lalui sangat menguras tenaga kami.
Kami berbagi tugas untuk menyiapkan tenda, membersihkan peralatan, dan memasak. Kami juga bergantian untuk membersihkan diri dari luluran lumpur yang hampir menutupi seluruh badan dan tak lupa berganti pakaian. Pak Josman setelah mengantarkan kami, pamit untuk kembali ke Sendang Biru bersama pemandu lainnya. Kami sempat terheran karena beliau berani menembus hutan dengan kondisi jalanan yang ekstrem di tengah malam, maklumlah sudah professional. Kami bersepakat dengan Pak Josman dijemput besok jam 10.00 WIB untuk kembali ke Sendang Biru. Pak Josman tidak menyanggupi untuk memandu kami besok, tetapi ia mengutus anaknya untuk memandu kami pulang.
            Pukul 21.00 WIB, kami sudah siap untuk santap makan malam dengan pakaian yang bersih. Menu makan malam yang kami masak cukup sederhana, yaitu mie rebus. Seusai menyantap mie rebus, kami menyiapkan perapian untuk membakar ikan tongkol yang kami beli di pasar ikan pantai Sendang Biru saat sebelum berangkat ke pulau Sempu. Satu kilogram ikan tongkol yang kami beli seharga RP15.000,- dan berjumlah 8 ekor. Sembari membakar ikan, saya bersama Ammar menyanyikan beberapa lagu dengan bantuan gitar yang kami bawa dari Jogja.
Saat asyik bercengkrama bersama, kami dikejutkan dengan air laut yang naik mendekati tenda kami akibat laut pasang. Penghuni tenda lain turut keluar mengamati pantai yang mulai meninggi permukaannya. Kami berinisiatif untuk memindahkan tenda lebih dekat dengan bukit, tetapi Pak Josman berpesan agar tidak terlalu dekat dengan bukit, karena dikhawatirkan jika hujan akan ada air lumpur yang akan mengalir dari atas bukit dan menyerang tenda. Walaupun tenda sudah kami dekatkan dengan bukit, air laut masih saja bisa mencapai tenda. Dengan penghuni tenda lain, kami bahu membahu untuk membangun penahan ombak dari gundukan pasir. Setegah jam bendungan yang kami kerjakan bersama akhirnya membuahkan hasil, air pasang dari laut dapat ditahan oleh bendungan dan tidak mencapai tenda kami.
            Seusai membakar ikan tongkol, kami melakukan shalat magrib dan isya’ yang dijamak secara berjamaah. Waktu menunjukkan pukul 23.00 WIB ketika kami menyantap ikan tongkol bersama. Acara malam itu kami tutup dengan menyalakan kembang api di pinggir pantai. Tidak lama kemudian kami masuk ke tenda masing-masing yang terpisah antara tenda perempuan dan tenda laki-laki. Setelah membaringkan tubuh dalam tenda, tidak menunggu lama, kami semua terlelap akibat kelelahan yang kami rasakan.
             Pukul 04.45 WIB kami bangun dari tidur lantas melaksanakan shalat subuh berjamaah. Usai melaksanakan shalat subuh, sinar matahari yang masih bersembunyi mulai menerangi kawasan Segara Anakan menampakkan air laut yang surut sangat jauh, sehingga kami bisa melihat dasar laut Segara Anakan yang tidak akan kami jumpai ketika pasang. Sebelum matahari terbit, Saya, Iqbal, Ammar dan Nining bergegas menuju bukit di sebelah tenggara camping ground untuk menyaksikan sunrise dari atas bukit karang. Sedangkan Kyki, Gama dan Erwan menunggu tenda. Beberapa pengunjung Segara Anakan lainnya sudah stay sejak tadi pagi, tak lupa mereka membawa perlengkapan foto untuk mengabadikan gambar dirinya bersama sunrise yang indah. Sayangnya, gumpalan awan di ufuk menutupi matahari yang mulai menyembul keluar dari garis horizon.

Pantainya Pulau Sempu Kece Abis
Pemandangan apik di Pulau Sempu
            Kami berfoto bersama keindahan pagi hari di pinggir jurang batu karang yang curam. Setelah itu, kami hanya duduk bersantai sambal merasakan semilir angin laut dengan pemandangan menabjubkan didepan mata kami. Dari atas bukit terlihat gerombolan monyet turun dari sarangnya menuju camping ground. Tetapi penghuni tenda telah mengantisipasi kebiasan monyet ini, sehingga tidak ada barang kami yang dicuri monyet. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB, dan kami kembali ke tenda untuk sarapan. Sampai di camping ground, air laut di Segara Anakan kembali pasang, tinggi permukaan lautnya normal kembali. Semalam karena gelap, kami tidak bisa menyaksikan air laut Segara Anakan yang hijau kebiruan, segar untuk dipandang. Segara Anakan dikelilingi bukit karang yang tinggi, sehingga ombak Samudera Hindia yang kami rasakan di Segara Anakan sangat tenang. Air laut masuk ke Segara Anakan hanya melalui lubang di batu karang yang memiliki diameter sekitar 2 meter. Praktis tempat ini sangat cocok untuk berenang dan snorkling, ditambah airnya yang sangat jernih karena masih jarang tersentuh oleh banyak aktivitas manusia.
            Kami lupa untuk membawa beras, sehingga kami sarapan dengan mie rebus lagi. Seusai sarapan, kami bermain di pantai, ada yang berenang atau snorkling dan ada pula yang hanya sekedar menikmati pemandangan pantai sembari mengambil jepretan foto pribadi. Penghuni tenda lainnya pun melakukan kegiatan yang sama hingga matahari mulai meninggi. Terkadang jika lelah kami rehat sejenak sambil ngemil makanan ringan, atau tidur sebentar. Kami bermain di pantai hingga pukul 09.30 WIB. Saya dan Ammar yang paling lama menghabiskan waktu berenang di Segara Anakan, kami sempat mencoba ke tengah Segara Anakan yang dalam, tetapi karena arus dari lubang karang cukup kencang, akhirnya kami kembali ke pinggir pantai. Air laut yang jernih dan segar membuat kami betah berlama-lama didalam air.
            Kami berhenti berenang ketika teman-teman meminta untuk segera berkemas, karena pemandu yang kami nantikan telah datang. Ternyata yang dijanjikan oleh Pak Josman benar, anaknya yang diutus untuk memandu kami. Adrian namanya, pemuda berumur 19 tahun yang saat ini waktunya sering dihabiskan untuk menjadi pemandu membantu ayahnya. Adrian selepas SMA tidak melanjutkan kuliah, memilih bekerja dan belajar ngaji saja. Seringkali di tengah perjalanan Adrian berbagi ilmunya yang didapat dari ngaji melalui nasehat-nasehat agama. Kami kira Adrian pemuda yang pendiam, ternyata dia luwes bergaul dan sangat baik, bahkan membantu membawakan satu tas carrier kami yang paling berat walau perawakannya kecil.
            Kami berkemas selama setengah jam. Tenda kami gulung dan barang-barang dimasukkan ke dalam tas, tak lupa sampah di sekitaran tenda kami kumpulkan ke dalam tas kresek dan dibawa pulang. Jam 10.30 WIB, kami mulai meninggalkan Segara Anakan menuju Sendang Biru lagi. Berhubung semalam tidak hujan, jalan setapak dalam hutan lebih kering dibandingkan kemaren. Walaupun tetap berlumpur tetapi tidak sebanyak kemaren. Adrian memandu kami melewati jalan yang berbeda ketika kami berangkat menuju Segara Anakan. Menurutnya, jalan ini lebih cepat karena memotong perbukitan, tetapi lebih curam dan terjal.
            Perjalanan pulang terasa lebih cepat dibandingkan waktu kami berangkat. Kondisi jalan yang kami lalui sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kemaren, banyak lumpur dan akar tanaman yang licin. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan tanjakan yang cukup tinggi, jika ditaksir tingginya sekitar 50 meter. Kyki beberapa kali berhenti di tanjakan ini, bahkan meminta kami untuk mendahuluinya. Kyki sempat hampir menyerah dan menyuruh kami memanggil SAR saja. Atas bantuan teman-teman untuk menarik dan mendorong Kyki, akhirnya kami semua sampai di puncak bukit yang tinggi itu.
            Sampai di puncak bukit, kami istirahat cukup lama. Melihat Kyki yang agak pucat karena kelelahan, kami mengeluarkan botol oksigen yang sengaja kami siapkan untuk kondisi darurat. Lantas membantu Kyki untuk menghirup oksigen dari botol tersebut agar lebih segar badannya. Walaupun pada awalnya digunakan oleh Kyki, tapi pada akhirnya botol oksigen itu kami gunakan secara berjamaah. Adrian menuturkan kami sudah sampai setengah jalan, dan mengajak untuk berjalan kembali.
            Jalanan di atas bukit cukup datar dan tidak terlalu berlumpur. Di tengah perjalanan kami berpapasan dengan dua rombongan lain yang akan berkunjung ke Segara Anakan. Ketika bertemu dengan rombongan lain, kami saling menyapa dan menyemangati. Setelah satu setengah jam, kami sampai diturunan bukit yang curam. Jalan yang turun ini benar-benar dipenuhi lumpur yang cukup dalam, sehingga kami harus pelan-pelan untuk melintas. Banyak dari kami yang terpelesat, bahkan Kyki terpeleset hingga jatuh terduduk cukup lama. Lumpur yang kami injak bisa setinggi lutut dalamnya, terkadang sepatu kami tersedot dan tertinggal di dalam lumpur, membuat kami susah payah mengeluarkannnya.
            Setelah turun dari bukit, akhirnya kami sampai di ujung Pulau Sempu yang dekat dengan Sendang Biru, atau pantai yang kami pijak pertama kali ketika sampai di pulau Sempu. Melihat Pantai Sendang Biru kami sangat lega karena telah melewati perjalanan yang melelahkan. Selanjutnya kami menunggu jemputan perahu yang sudah dihubungi sebelumnya oleh Nining. Sekitar 15 menit perahu yang kemaren kami tumpangi datang menjemput, kami bergegas naik ke atas perahu.
            Tidak berselang berapa lama, perahu lain datang untuk mengangkut rombongan dari Jakarta. Karena perahu tersebut tidak bisa menampung semua rombongan Jakarta, akhirnya sebagian di titipkan di atas perahu kami. Setelah semua naik, perahu mulai membelah laut untuk menyebrang menuju pantai Sendang Biru. Rasa senang dan bangga begitu kami rasakan dalam pelayaran pulang ke Sendang Biru. Tidak banyak obrolan yang dicipta diatas perahu, masing-masing sibuk memandang laut lepas atau menikmati indahnya pantai Sendang Biru dan Pulau Sempu.
            Sampai di Sendang Biru, waktu menunjukkan pukul 13.35 WIB. Kami kemudian membersihkan diri, shalat, makan dan mempersiapkan perjalanan pulang. Setelah dua jam bersiap dan memastikan tidak ada yang tertinggal, kami meninggalkan Pantai Sendang Biru menuju Kota Malang pukul 15.30 WIB. Sebelumnya kami berpamitan dengan Adrian yang telah banyak membantu kami, tak lupa kami memberikan fee pemandu sesuai tarif standar yaitu Rp100.000,-. Sebelum kembali ke Yogyakarta, kami berencana singgah di Kota Malang untuk mengembalikan barang camping sewaan dan Kota Madiun untuk berkunjung ke rumah salah satu teman kami. Sampai di perbatasan Kota Malang, kami shalat Maghrib dan Isya’ terlebih dahulu di jalan Raya Gadang.
            Kami sampai di Kota Malang pukul 18.45 WIB. Karena saat itu mas Ian belum pulang ke rumahnya, kami berinisiatif untuk makan malam terlebih dahulu di dekat stasiun Kota Malang. Pukul 19.30 WIB kami kembali ke kediaman mas Ian untuk menitipkan tenda dan kompor yang kami sewa. Karena toko persewaaan sudah tutup, maka kami titipkan ke mas Ian untuk mengurus pengembalian alat tersebut. Kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Madiun. Kami melalui jalur yang sama ketika berangkat ke Malang, melewati Pujon. Karena hari sudah malam, pemandangan pegunungan yang indah tidak kami jumpai lagi. Sebagian besar dari kami tertidur hingga sampai di Kota Madiun.
            Kami sampai di Kota Madiun pukul 02.00 WIB. Kami singgah di rumah keluarga Pak Edy yang merupakan ayah dari Deary Putriani, salah seorang teman kami. Begitu sampai, hanya Dea seorang diri yang menyambut, penghuni rumah lainnya telah terlelap. Kami selanjutnya bersih diri dan bergegas untuk tidur. Selepas shalat subuh, kami akhirnya bertemu dengan bapak dan ibunya Deary. Beberapa dari kami ada yang melanjutkan istirahat, beberapa lainnya membantu menyiapkan sarapan di dapur. Pukul 06.00 WIB, kami sarapan bersama keluarga Deary dengan menu khas Pecel Madiun.
            Pukul 07.30 WIB, setelah mandi, saya, Ammar, Gama, dan Deary pergi untuk mengurus keperluan STNK di kantor Samsat Madiun. Sedangkan lainnya menunggu di rumah. Ibu dan Bapak Deary sudah berangkat kerja semenjak pagi. Setelah mengurus STNK, kami mengunjungi alun-alun Kota Madiun untuk melihat burung dara dan mengambil foto di sekitaran alun-alun. Pemerintah Madiun ternyata memelihara burung dara yang sangat banyak dikawasan alun-alun untuk menarik minat pengunjung. Kami kembali ke rumah Dea pukul 10.00 WIB. Sampai di rumah, banyak waktu kami habiskan untuk mengobrol ngalor-ngidul hingga waktu dhuhur menjelang.
Pose dulu sebelum pulang 
            Pukul 11.00 WIB, kami berpamitan dengan Deary untuk kembali ke Yogyakarta. Tidak lupa kami singgah untuk melaksanakan shalat Jum’at di masjid Az Zahroh di Komplek Pemkot Madiun. Seusai shalat Jum’at kami melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta melewati Kabupaten Magetan. Memang rute yang kami pilih sengaja melewati daerah pegunungan di Magetan agar bisa menengok keindahan gunung Lawu yang terkenal itu. Siangnya kami berencana untuk makan siang di pinggir danau Sarangan, Magetan. Sayangnya kondisi cuaca kurang mendukung, hujan deras dan kabut tebal memaksa kami untuk melanjutkan perjalanan dan bergegas turun dari kawasan pegunungan.  
             Kami tiba di Jalan Karanganyar-Solo pukul 15.30 WIB untuk makan siang di Soto Sore. Memang makan siang kami agak telat karena bergegas turun dari magetan. Setelah makan siang dan shalat, kami melanjutkan perjalanan ke Solo. Sampai di Solo kami mengunjungi Technopark dan Boulevard ISI Surakarta. Mumpung masih dalam kondisi liburan kampus, kami memanfaaatkan waktu sebaik mungkin untuk berwisata. Tidak banyak yang kami lakukan di Boulevard, hanya mengambil foto dan bercanda.
            Selanjutnya pukul 18.00 WIB kami berkunjung ke warung Susu Shi Jack yang terkenal di Kota Surakarta. Susu murni dan jajanan angkringan yang disediakan cukup menambah isi perut kami yang belum puas menyantap semangkuk kecil Soto Sore. Kami lantas shalat Maghrib dan Isya’ di Masjid Assegaf, Surakarta. Pukul 19.00 WIB kami berangkat meninggalkan Solo.
            Sampai di Klaten, saya menggantikan Iqbal untuk menyetir. Iqbal kelelahan setelah semalaman membawa mobil dari Malang menuju Madiun. Kami sampai di Yogyakarta pukul 21.00 WIB. Sesampainya disana, saya mengantarkan pulang Iqbal ke rumahnya. Sedangkan Nining kami antarkan ke Ambar Ketawang dan dijemput keluarganya disana. Kyki kami antarkan sampai rumahnya dan Gama kami antarkan ke kostnya di Karang Malang. Penumpang terakhir, saya, Ammar dan Erwan kembali ke rumah kontrakan saya di Condong Catur. Sampai dirumah kami mengeluarkan semua barang dari mobil lantas bergegas untuk istirahat. (Aan).
Bermandikan lumpur

Posting Komentar untuk "Menembus Batas 3: Pulau Sempu"