BOM WAKTU SI KOTAK AJAIB
BOM
WAKTU SI KOTAK AJAIB
*Azhar Nasih Ulwan
“Ciat.. ciat …” bergaya
seperti superhero dengan sehelai kain
bak sayap yang bergelantungan dipunggungnya, adikku memukul dan menendang
sekenanya. Tak ayal aku langsung menangkis dan memiting tubuhnya. Walaupun
sudah kukunci erat, adikku memberontak dan berusaha lepas. Hingga akhirnya dia
menghentikan aksinya ketika musuhnya (aku) bersedia memohon ampun dihadapannya.
Sambil bergaya bak pahlawan yang menang perang, adikku hengkang dari hadapanku.
Adikku saat ini memiliki hobi unik, senang menirukan aksi perkelahian yang
terdapat didalam film-film aksi atau tayangan televisi.
Fenomena tersebut tidak
asing dikalangan anak-anak zaman sekarang. Tak jarang gurauan yang awalnya
hanya menirukan gaya petarung di televisi lama kelamaan bisa menjadi perkelahian
yang sebenarnya. Bukan hanya soal menirukan gaya petarung, apapun yang terlihat
menarik bagi anak-anak, ditirukannya dengan bangga. Suatu ketika saya kaget
mendengar berita seorang anak nekat terjun dari lantai 53 sebuah gedung
apartemen karena menirukan Superman yang
bisa terbang. Anak itu bernama Connor berusia 4,5 tahun, seorang anak gitaris
terkenal Eric Clipton.
Fenomena lain yang tak
kalah menariknya, tidak sedikit orang tua sekarang yang bangga ketika anaknya
yang masih belia dapat menirukan apa yang ditayangkan televisi. Hal tersebut
saya rasakan sendiri lewat obrolan tetangga. Contohnya orang tua yang bangga
ketika balita laki-lakinya pandai menirukan gaya-gaya personel girl band
Cherybelle. Apa jadinya ketika dewasa, saat belia disuguhkan hal-hal yang bisa
jadi membuat dia memiliki perilaku feminim padahal dirinya seorang laki-laki.
Televisi yang dibuat
pertama kali pada tahun 1923 memberikan perubahan yang luar biasa bagi
kehidupan manusia. Informasi dari belahan dunia manapun dapat diakses dengan
mudah melalui televisi, terlebih ketika sudah didukung teknologi parabola atau
terhubung satelit. Rumah keluarga saya merupakan salah satu dari sekian juta
rumah yang memiliki televisi dengan menggunakan jasa saluran berbayar. Ratusan
program televisi dapat diakses melalui jaringan tersebut. Hal ini membuat siapa
saja akan lebih betah untuk berlama lama didepan televisi melihat berbagai
program tayangan menarik mata dari seluruh dunia.
Adik saya salah satu dari
sekian banyak anak yang setiap harinya seringkali berasyik ria dengan televisi.
Sekali melihat tayangan televisi terutama kartun, maka tak ubahnya seperti
patung yang serius menatap layar kaca. Ketika sudah terjebak dengan hipnotis televisi,
untuk makan, mandi atau mengikuti perintah orang tua sangat susah. Perintah untuk
menjalankan ibadah shalatpun begitu susah dijalankannya ketika sudah asyik
dengan televisi. Usianya sudah menginjak 9 tahun, seperti halnya anak-anak pada
umumnya yang suka bermain. Tetapi bila sudah didepan televisi, ajakan temannya
untuk bermain di luar rumah sering diabaikan, hal ini bisa membuat dia pasif
sosial.
Hal tersebut tidak hanya dirasakan oleh adik
saya, tidak sedikit dari anak-anak sekarang, terutama yang hidup dikawasan kota
terjebak dalam dunia yang disajikan oleh televisi. Bahkan menurut UNICEF
anak-anak Indonesia menghabiskan hampir sekitar 5 jam di depan televisi setiap
harinya. Dua kali lipat daripada yang disarankan UNICEF bagi kesehatan mental
dan fisik anak.
Melihat fakta yang lekat
disekitar, dampak tayangan televisi pada umumnya memberikan arus negatif.
Perlahan tapi pasti meracuni pikiran yang menontonnya. Bayangkan, jika seorang
anak yang memiliki rasa keingintahuan tinggi menonton tayangan-tayangan
kekerasan setiap harinya. Bila berungkali terekam dalam pikiran akan menjadi
sebuah gagasan atau ideologi dalam hidupnya. Ketika ideologi itu semakin
distimulus, otomatis akan melahirkan sikap atau kebiasaan. Contohnya saja kasus
si anak ‘Superman’, dengan polos
menganggap dirinya seorang superhero
yang bisa terbang, karena stimulus yang diberikan televisi menghasilkan sikap
keyakinan kepada dirinya sebagai Superman.
Akibat
Perbuatan si “Kotak Ajaib”
Komersialisasi siaran
televisi menjadi cikal bakal produksi tayangan bobrok yang meracuni siapa saja
yang menontonnya. Fakta acapkali diputarbalikkan dengan dusta, dan dusta menjadi
fakta. Hal negatif ringan saja disajikan asal menghasilkan berjubel jubel uang.
Hal inilah yang dapat merusak pemikiran anak bangsa hingga akhirnya menimbulkan
perilaku negatif. Ketika perilaku negatif itu sudah lekat dimasyarakat, maka
rusaklah negara ini.
Atas kepentingan
komersialisasi, semakin banyak hal negatif mewarnai dunia layar kaca. Bisa anda
koreksi satu persatu dan hitung berapa banyak presentase hal negatif yang disajikan
daripada hal positif. Padahal, hampir setiap rumah yang kita temui di Indonesia
setidaknya memiliki satu televisi, bahkan ada yang memiliki dua atau lebih. Sehingga
mudah saja tayangan negatif merasuki paradigma masyarakat, bagaikan virus yang
bisa membuat wabah penyakit.
Dahulu memang stasiun televisi
di Indonesia hanya TVRI yang menyajikan berita-berita penting. Lantas muncul
beberapa stasiun televisi, salah satunya TPI (Televisi Pendidikan Indonesia),
dengan misi menyajikan siaran yang mendidik. Tetapi, siapa sangka pada akhirnya
menyiarkan acara-acara tak mendidik dan bobrok seperti dangdut yang mengumbar aurat
hingga akhirnya ditutup dan diakuisisi oleh perusahaan lain.
Efek negatifnya bagi
anak, dengan sering lamanya menonton televisi membuat anak pasif secara sosial.
Anak akan jarang bergaul dengan dunia nyata, lebih banyak berimajinasi dengan
dunia televisi. Ketika menontonpun sang anak dalam posisi pasif, hanya berdiam
diri menerima informasi digital yang disampaikan. Tentu ini berdampak secara fisik
bagi kesehatan sang anak. Si anak akan lebih memilih menonton televisi
ketimbang belajar atau membaca, karena aktivitas menonton mudah saja dilakukan.
Apa jadinya bila agen perubahan masa depan bangsa tidak bergiat untuk belajar,
hari esok tentu akan suram menanti.
Tayangan dan berita kekerasan
di media meningkatkan kegelisahan, ketakutan, dan perilaku agresif, serta
masalah pendidikan dikalangan anak-anak. Tidak heran anak-anak zaman sekarang
ketika diperingati akan kesalahannya malah membangkang bahkan melawan. Masalah
kekerasaan tidak hanya persoalan diranah dunia anak, bahkan kasus kekerasan
orang dewasa seperti kisruh demonstrasi, tawuran pelajar, dan pembunuhan kian
menjadi hobi masyarakat kita. Sebut saja penembakan anggota POLRI, pembunuhan
Sisca di Bandung, pembantaian Lapas Cebongan, Tawuran antar masyarakat dan
masih banyak lagi.
Tayangan seperti sinetron
dan (un)reality masih menjadi primadona dimasyarakat. Saya menilai tayangan
sinetron Indonesia sebagian besar mengandung unsur pendidikan yang buruk.
Sinetron favorit remaja yang menggambarkan kehidupan di sekolah seringkali
menonjolkan hal-hal berbau romantisme. Sekolah kerap dijadikan tempat untuk menyemai
romantisme dengan lawan jenis, bukan malah sebagai tempat belajar. Semangat seorang
remaja yang keren dan sukses bukan digambarkan sebagai remaja yang taat dengan
berbagai aturan dan memiliki prestasi tinggi, melainkan remaja yang sukses
memiliki pacar dengan paras cantik entah bagaimanapun caranya. Bukankah hal ini
mempengaruhi orientasi kehidupan remaja?
Belum lagi tayangan
sinetron telenovela yang digemari oleh ibu-ibu, memiliki persuasi terhadap
sifat buruk yang banyak. Entah itu mencibir, menggosip, berbohong, berlaku
licik dan lain sebagainya. Ditambah figur-figur dalam sinetron, walaupun berjubah
seorang ahli agama tak ubah layaknya profokator kerusuhan, padahal pendidikan
yang paling ampuh adalah melalui teladan. Figur tersebut ditemui seperti dalam
sinetron “Para Pencari Tuhan”. Apa jadinya bila yang menjadi teladan anak bangsa
adalah figur semacam itu?
Figur semacam itu tak hanya
tampil dalam sinetron, hampir seluruh program komersial untuk menarik minat
penonton ditampilkan figur yang nyeleneh.
Sebut saja seorang presenter dengan inisial OS dalam program “Dahsyat” sangat laris
diberbagai program televisi. Walaupun jelas dia adalah laki-laki, tetapi
perilakunya kerap meniru perempuan atau berperilaku banci. Selain itu,
pelecehan verbal terhadap kawan dalam satu programnyapun sering dilakukan. Hal
ini bisa menimbulkan krisis identitas bagi masyarakat kita. Ataupun figur
seorang presenter wanita berinisial S, dengan program di salah satu stasiun televisi
yaitu “Show_imah”, presenter tersebut kian mewarnai sajian layar kaca yang nyeleneh. Perilaku berlebihan dan minim
etika sering ditampilkan oleh presenter tersebut, seperti tertawa
sekencang-kencangnya, berguling-guling dan jungkir balik, padahal dia adalah
seorang wanita dan seorang ibu. Sikap kewanitaan serta sopan santun kerap tidak
ditampilkan.
Atmosfer politik Pemilu
2014 tentu ikut andil dalam dunia pertelevisian belakangan ini. Bahkan pemilik
perusahaan-perusahaan televisi ikut terjun dalam gemerlap Pemilu 2014, baik
mencalonkan diri menjadi Presiden ataupun Wakil Presiden. Saya tidak tahu,
konspirasi seperti apa yang akan terjadi demi mewujudkan suksesnya jalan
politik si pemilik stasiun televisi. Bisa jadi program yang disiarkan sudah
tidak netral dan menyajikan berita yang kurang benar untuk masyarakat.
Budaya-budaya barat yang
ditayangkan televisi dapat menimbulkan gegar budaya (cultural shock) bagi
masyarakat kita, terutama pemuda. Karena pemuda yang memiliki potensi tinggi
untuk mengadopsi budaya tersebut. Adegan dewasa yang menggambarkan budaya
pergaulan barat kerap ditampilkan dalam film-film di televisi buatan negara
barat. Belum lagi program televisi dari barat yang saat ini mudah diakses.
Kebiasaan minum minuman keras pun kerap ditampilkan, ini memberikan gambaran
bahwa minuman keras adalah hal biasa dan boleh. Padahal jelas hal ini tidak
sesuai dengan budaya yang kita miliki. Banyak berita di negeri ini yang
menyajikan fakta minuman keras berujung pada pembunuhan, pemerkosaan atau hal
mengerikan lainnya. Adapula budaya berpakaian minim, padahal sudah jelas negara
kita memberlakukan undang-undang pornografi.
Berita korupsi,
kriminalitas, gosip berbalut kebohongan dan berita negatif lainnya perlahan
menggerogoti idiologi bangsa ini. Jarang kita mendengarkan berita positif
pembangun optimisme bangsa. Inilah penjajah kontemporer bangsa ini, pesimistis
dan lunturnya rasa percaya diri. Berbagai keterpurukan Indonesia menjadi
doktrin pesimistis yang disajikan televisi. Hal ini membuat bangsa kita
diliputi pesimistis yang membludak. Tak hanya itu, berita dalam siaran televisi
terlalu banyak menyajikan hal-hal negatif dibandingkan hal-hal positif bangsa
ini. Bukan malah mempersatukan, justru dapat menimbulkan perselisihan dalam
tubuh bangsa ini. Berita kerusuhan, pembunuhan atau pemerkosaan berulang-ulang
diulas bahkan ditayangkan dalam investigasi khusus, sedang dikemanakan
berita-berita prestasi bangsa ini yang dapat membangun optimisme dan
nasionalisme?
Bangsa ini semakin
berpenyakit dengan banyaknya virus-virus bobrok yang ditebarkan oleh si Kotak
Ajaib. Saya menyebutnya sebagai kotak ajaib karena pengaruhnya yang begitu luar
biasa. Masyarakat dengan mudahnya dapat dihipnotis dengan tayangan murahan dan
penuh kedustaan. Ini merupakan pembodohan terselubung yang dilakukan secara
jama’ah. Perlahan tapi pasti masyarakat kita seperti menderita penyakit yang
mematikan, waktu demi waktu stadium penyakit tersebut kian meningkat. Hingga
suatu waktu nanti, meledaklah penyakit tersebut menjadi sebuah kehancuran.
Bertindak
Preventif dan Represif
Ironi memang ketika dalam
suatu situs surat kabar, sempat saya baca salah satu komentar peneliti dari
luar negeri “I’ve been in many households in
Indonesia that have a dirt floor, but they also have a television.” Kungkung kebodohan kian kuat memenjarakan
bangsa. Tayangan televisi menjadi konsumsi favorit masyarakat bangsa ini, tidak
terkecuali mayarakat menengah kebawah.
Si Kotak Ajaib tak akan
berhenti memberikan pengaruhnya kepada masyarakat kita, selama komersialisasi
dan kapitalisme menjajah ranah tersebut. Tentu hal tersebut secara tidak
langsung menjajah negeri kita dalam kungkung kebodohan. Berbagai tindakan harus
segera kita lakukan, demi utuhnya bangsa ini, kini hingga masa mendatang.
Tindakan tersebut dapat berupa pencegahan maupun tindakan langsung ketika
kebodohan terlihat jelas melakukan persuasi dialayar kaca.
Tentu kita bisa mencegah dampak negatif si Kotak Ajaib dengan membatasi
keluarga kita dari tayangan yang tak bermutu. Tetapi kita juga perlu bijak,
karena tidak semua tayangan televisi mengandung unsur negatif. Masih terdapat
unsur positif yang bisa kita porsikan untuk konsumsi keluarga. Hanya ada dua
pilihan bijak, “Matikan televisi atau pilih tayangan bermutu!”. Pencegahan
seperti ini tentu butuh ketegasan agar nantinya menjadi aturan dan kebiasaan
yang membawa kearah positif.
Selain itu kita memiliki KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Tapi fungsi
yang dijalankan dirasa sangat kurang. Karena masih banyak tayangan ditelevisi
yang dapat lolos penyiaran padahal mengandung unsur negatif dan minim etika.
KPI harus tegas bersikap tanpa pandang bulu demi utuhnya negeri ini. Selain
itu, fungsi yang telah dicanangkan harus dijalankan dan kita dukung sepenuh
hati, seperti dalam slogannya “Jadikan penyiaran Indonesia yang sehat,
bermanfaat dan bermartabat”. Bila penyiaran televisi tidak mendapat perhatian
serius, saya yakin hal ini akan menjadi bom waktu bagi bangsa kita.
Lama-kelamaan jika dibiarkan akan membawa ledakan kehancuran. Kita harus
meredam ledakannya, bahkan mematikan bom waktu yang kian berjalan mundur!
Posting Komentar untuk "BOM WAKTU SI KOTAK AJAIB"