PENELITIAN SAINS ASLI (INDIGENOUS SCIENCE) UNTUK PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL DALAM MEMBENTUK GENERASI MELEK SAINS
PENELITIAN
SAINS ASLI (INDIGENOUS SCIENCE) UNTUK
PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL DALAM MEMBENTUK GENERASI
MELEK SAINS
*Azhar Nasih Ulwan
Mutu pendidikan,
khususnya pendidikan sains di Indonesia, masih menjadi isu hangat dalam
berbagai pertemuan ilmiah. Hal ini disebabkan rendahnya kualitas pendidikan sains
di Indonesia yang dibuktikan oleh survei atau penelitian di tingkat
internasional. Trends in International
Mathematics and Science Study (TIMSS, 2007) melaporkan bahwa kemampuan
sains siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-36 dari 49 negara.
Padahal tetangga sebelah, yakni Malaysia menduduki peringkat 20. (http://litbang.kemdikbud.go.id).
Tentu ini menjadi prihatin bangsa dan menimbulkan pertanyaan besar, apa yang
sebenarnya terjadi dalam tubuh pendidikan kita, sehingga mutu yang dihasilkan
tergolong rendah?
Selidik punya selidik,
rupanya pendidikan di Indonesia yang seharusnya bertujuan untuk mencerdaskan
bangsa belum sepenuhnya menuju kearah tersebut. Masih banyak praktik pendidikan
di Indonesia yang terbatas hanya pada pengembangan kognitif, sedangkan afektif
dan skill sering terabaikan. Tak
hanya itu, potensi kognitif pun seringkali terkungkung dengan proses pendidikan
yang hanya dievaluasi menggunakan soal pilihan ganda atau soal yang menuntut
jawaban pasti. Proses pendidikan yang condong untuk menuntut siswa berfikir
kritis masih sangat minim ditunjang oleh pendidikan kita. Sebut saja Ujian
Nasional, dengan tipe soal seluruhnya pilihan ganda akan sangat berpotensi
untuk mengajarkan siswa berbuat gambling. Berbeda halnya jika kita memberikan
soal esai atau aplikatif, siswa akan lebih berekspresi sehingga kemampuan kognitif
dalam dirinya akan tereksplor dan berkembang. Inilah penyebab rendahnya
kualitas pendidikan kita bila ditinjau dari survei internasional tersebut.
Masalah lainnya yang
dialami bangsa Indonesia adalah rusaknya lingkungan alam yang mengakibatkan
berbagai bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan, polusi udara, yang
kesemuanya hanya menghasilkan kesengsaraan rakyat. Semua kegiatan masyarakat yang
kurang bertanggungjawab terhadap lingkungan diduga akibat kurangnya pemahaman
terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini dapat disebabkan karena pembelajaran
di sekolah kurang bisa menanamkan nilai-nilai untuk mengaplikasikan konsep yang
diterima ke dalam kehidupan nyata.
Hasil evaluasi kurikulum
1994 SLTP pada mata pelajaran sains yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan
Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud menunjukkan bahwa 1) sebagian
besar siswa tidak mampu mengaplikasikan konsep-konsep sains dalam kehidupan
nyata 2) pengajaran tidak menitikberatkan pada prinsip bahwa sains mencakup
pemahaman konsep, dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari.
(kemdikbud.go.id).
Dewasa ini, pendidikan
cenderung menjadi sarana “stratifikasi sosial” dan sistem persekolahan yang
hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut sebagai dead knowledge,
yaitu pengetahuan yang terlalu bersifat hafalan (textbookish). Dengan kata lain pembelajaran di sekolah menjadi
kering dan tidak bermakna bagi siswa.
Pendidikan pada dasarnya memiliki
fungsi kembar, yakni untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang positif dan di
sisi lain untuk menciptakan perubahan inovatif. Dengan fungsi kembar itu, maka
sistem pendidikan asli suatu masyarakat memiliki peran penting dalam
perkembangan pendidikan dan kebudayaan.
Perkembangan pendidikan
sains sangat terdorong oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang melahirkan sains formal seperti diajarkan di lingkungan
pendidikan sekolah. Sementara di lingkungan masyarakat tradisional terbangun
pengetahuan asli berbentuk pesan, adat istiadat yang diyakini oleh
masyarakatnya dan disampaikan secara turun temurun tentang bagaimana harus
bersikap terhadap alam. Bentuk pengetahuan ini tidak terstruktur secara
sistematis dalam bentuk kurikulum yang diimplementasikan dalam pendidikan
formal. Melainkan berbentuk pesan, amanat yang disampaikan secara turun temurun
di suatu masyarakat adat seperti cara memelihara hutan dengan memberlakukan
hutan larangan.
Masyarakat adat memiliki
strategi memelihara hutan, memelihara plasma nutfah dan lain sebagainya. Hingga
kini dalam pendidikan formal di sekolah, kearifan alam seperti itu belum banyak
terungkap. Pendidikan sains formal lebih berkonsentrasi pada upaya beradaptasi
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan bercermin pada pola
pendidikan sains di negara maju.
Selama ini, pendidikan
tradisional lebih banyak disampaikan dalam bentuk peribahasa, pantang larang
dan simbol budaya seperti beragam upacara adat yang semuanya mengandung isyarat-isyarat
untuk dipikirkan. Padahal, semakin berkembangnya masyarakat kini, seringkali
media pendidikan tradisional semakin pudar. Pendidikan sains besar sekali
perannya dalam melatih dan mengasah daya nalar untuk mencari kaitan sebab
akibat, menyimpulkan, mengelaborasi, menggali nilai. Melalui pendidikan sains
di sekolahlah yang dapat menanggulangi terputusnya pendidikan tradisional yang
semakin minim disampaikan dalam struktur masyarakat.
Agar adat istiadat yang
berupa kearifan terhadap alam ini tidak punah, maka pengetahuan asli masyarakat
perlu ditanamkan dan disosialisasikan kepada generasi penerus melalui proses
pendidikan sains dalam konteks budaya. Oleh karena itu, perlu adanya
implementasi pengenalan sains dalam kebudayaan masyarakat atau yang dikenal
dengan sains asli (indigenous sains) dalam pembelajaran di sekolah.
Jika implementasi sains
asli tidak segera terlaksana, proses
pendidikan pada kedua konteks itu (masyarakat dan sekolah) tidak mustahil akan
berjalan sendiri-sendiri. Akibat fatal di masa depan, generasi muda akan
semakin jauh dari akar budaya sendiri. Kehilangan jati diri karena terus mengejar
pencapaian pendidikan negara lain yang akar budayanya belum tentu sejalan
dengan budaya Indonesia.
Kritik pendidikan sains
di negara maju, pendidikan sains dan praktek pengajarannya tidak menawarkan
siswa untuk kontak dengan kegiatan sains secara dekat. Siswa tidak pernah
bertemu ilmuwan, mengamati sains yang sedang dilakukan di laboratorium, melihat
contoh tulisan ilmiah professional, mengetahui penggunaan fungsi sosialnya,
serta tidak pernah kontak dengan peralatan, proses, praktek, dan realitas sosial
ekonomi sains sebagai kegiatan manusia. Keseluruhan konteks dalam kehidupan
sehari hari itu, jarang sekali ditemukan dalam pendidikan sains formal di
sekolah, karena pendidikan sains lebih sering mengajarkan pemahaman konsep
imliah dari pada mengambangkan pemahaman ilmiah, sehingga gagal mengajarkan
pemahaman ilmiah dalam dunia nyata.
Sains asli dalam
masyarakat dapat diimplementasikan dalam pembelajaran sains di sekolah melalui
pembelajaran muatan lokal. Hal ini dinilai tepat, karena seringkali
pembelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah menyimpang dari apa yang
diharapkan. Seringkali sekolah mengejar prestige
pelajaran yang di ajarkan dalam pembelajaran muatan lokal ketimbang memilih
pembelajaran sarat akan kearifan lokal. Contohnya saja, pembelajaran muatan lokal
yang dipilih sebuah sekolah di pelosok daerah adalah bahasa perancis, lantas
bagaiman korelasinya dengan aplikasi bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menyajikan
pembelajaran muatan lokal berbasis indigenous
sains perlu dilakukan penelitian
mendalam mengenai ilmu yang dikenal oleh masyarakat tradisional. Selain
mengembangkan kemampuan siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan di kelas ke
dalam kehidupan nyata, penelitian sains asli dapat menyelamatkan masyarakat
dari belenggu kebodohan yang selama ini mengungkung. Belenggu tersebut berbagai
rupa jenisnya, seperti kepercayaan terhadap benda keramat, mitos, ritual-ritual
yang tak bermakna dan lain sebagainya. Adapun kerangka konseptual penelitian
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar
1. Kerangka konseptual penelitian
Melalui penelitian sains
asli (indigenous sains) diharapkan mampu menunjang pembelajaran muatan lokal
berbasis sains budaya. Akhirnya siswa tidak hanya sekedar kritis terhadap
permasalahan lingkungan (masyarakat) dengan berbekal pengetahuan dari sekolah,
melainkan dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari sekolah. Inilah yang
disebut generasi melek sains, bukan generasi pengekor yang diibaratkan bagai
keledai yang memiliki tumpukan buku akan tetapi tidak tahu apa manfaat buku
tersebut. Sama halnya seorang siswa yang memiliki banyak ilmu tetapi tidak tahu
untuk apa ilmu yang dimilikinya.
Jika pendidikan kita
mengarah ke ranah pembentukan generasi melek sains, maka pendidikan kita bukan
sekedar pendidikan yang mengungkung siswa dalam keterbatasan paradigma a, b, c,
d, dan e, tetapi paradigma siswa kritis dan aplikatif. Jika seperti itu, dapat
diprediksi kualitas pendidikan kita akan meningkat. Bukan tidak mungkin bangsa
kita menjadi bangsa yang besar dan dihormati karena kualitas pendidikannya.
Semoga.
DAFTAR
PUSTAKA
Rumbrawer, Frans. Memanfaatkan
Kearifan Lokal (Etnosains) Untuk Mencegah Konflik Sosial Di Tanah Papua.
Pusat Studi Etnosains Papua (PuSEPa) Uncen, Abepura, 1.10.2013
Suastra, I Wayan. Merekonstruksi
Sains Asli (Indigenous Science) Dalam Upaya Mengembangkan Pendidikan Sains
Berbasis Budaya Lokal Di Sekolah. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII
Juli 2005.
Sudarmin dan
Rayandra A. Transformasi Pengetahuan Sains Tradisional menjadi Sains Ilmiah dalam
Proses Produksi Jamu Tradisional. Jurnal Edu-Sains Volume 1 No.1, 2012, Jambi.
http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-timss.
diunduh pada tanggal 7 Oktober pukul 21.24 WIB.
Posting Komentar untuk "PENELITIAN SAINS ASLI (INDIGENOUS SCIENCE) UNTUK PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL DALAM MEMBENTUK GENERASI MELEK SAINS"