Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Surat untuk Presiden


Yogyakarta, 18 Oktober 2009
Yth.
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih (2009 - 2014).

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bersama semilir angin yang berhembus menelisik lika-liku keindahan cakrawala negeri Sabang hingga merauke. Bersama debur ombak lautan nusantara negeri maritim. Dengan segala kerandahan hati dan ketulusan jiwa,  kupersembahkan sepenggal kisah, harapan dan impian, seorang anak bangsa, titian rakyat jelata dari antah berantah negeri sepenggal surga. Entah kata apa yang harus mengawali sepenggal goresan hitam diatas putih ini, berjuta harap dari suara hati nurani tak akan selesai dengan goresan seribu pena, ribuan lembar kertas, bahkan jutaan kata.
Berawal dari kisah negeri sepenggal surga, yang disebutkan oleh seorang seniman. Sebuah negeri dengan deretan pulau yang berjejer mesra, membentuk gugusan hijau jamrud khatulistiwa. Subur tanahnya, kaya alamnya. Engkau bisa bercocok tanam apapun. Namun pedih selaksa jiwa terasa seseantero negeri ketika sang penghuni berusaha bercocoktanam kemunafikan dan panen keserakahan. Apakah kita tidak termasuk sebagai bangsa yang bersyukur? Apakah kekayaan alam melimpah ruah yang menjanjikan digaris khatulistiwa tak mampu memenuhi kebutuhan sang empunya, hingga kemiskinan, kemelaratan, kelaparan serta kesengsaraan merebak dimana mana. Hingga tersemat sebuah ungkapan “Tikus Mati di Lumbung Padi”.

Bapak Presiden dan Wakil Presidenku Yang Terhormat
Telah 64 tahun negeri kita ini merdeka secara proklmasi. Dari buaian, aku selalu bangga terlahir dinegeri merdeka ini, dengan lima sila agungnya yang tak dipunyai negeri lain. Namun, hatiku gundah tatkala paradigma penjajahan negeri ini belum berakhir menghantui. lalu apa makna dari 64 tahun kita merdeka?  Pertanyaan itu membuat kebangganku kendor terhadap negeri ini. Paradigma bahwa negeri ini masih dituntun oleh tangan tangan keserakahan, yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin.
Bapak Presiden dan Wakil Presidenku Yang Terhormat
Tidakkah kita melihat, masih banyak jiwa jiwa telanjang dipinggiran jalan. Anak bangsa yang pupus harapan dan tak berpendidikan, yatim, dan piatu. Terlantar setelah bencana menimpanya. Banjir, gempa, tsunami. Atau tidakkah kita merasakan betapa sakitnya korban gempa yang terhimpit bangunan beton dan perlahan lahan mati akibat tak tertolong karena minimnya peralatan milik negeri sepenggal surga ini. Apakah kita akan disematkan sebuah penghargaan lagi sebagai bangsa yang tak menghargai nyawa, dan hak asasi. Kemana wibawa negeri ini dengan lima sila agungnya?
Bapak Presiden dan Wakil Presidenku Yang Terhormat
Predikatku di negeri ini hanya sebagai pelajar, tak lebih. tak punya andil dalam menggerakkan roda pemerintahan, hanya suara dan protes yanhg kerap kali muncul mengomentari berputarnya roda negeri. namun bila kita tengok negeri barat, jarang sekali demonstrasi pelajar terjadi, apakah pendidikan disana telah mapan? mengapa pelajar disana begitu nyaman tanpa ada kontradiksi yang sering terjadi? sedangkan bagaimana dengan kita?
Bila kita tengok lagi dalam sejarah negeri ini. negeri kita pernah menjadi kiblat pendidikan bagi negara-negara tetangga. orang-orang negara tetangga hijrah untuk mencari pendidikan di negeri kita. namun sekarang dalam faktanya negeri kita menempati peringkat ke sekian ratus di dunia dalam hal pendidikan. orang-orang di negeri kita hijrah untuk mengais harta dinegeri orang tanpa larbelakang pendidikan yang jelas. Apakah kita mengalami kemunduran? Samakah semangat pemuda-pemuda bangsa dahulu saaat menyerukan sumpah pemuda demi tumpah darah negeri ini, dengan pemuda-pemuda bangsa saat ini yang sering terpecah belah dengan tawuran-tawuran antar pelajar, anarkhisme dan dekadensi moral yang terjadi.
Tak usah berpelik pelik, tak akan cukup dalam sepenggal surat ini bila kejelekan semua negeri ini disebut. Begitu juga kebaikan negeri ini yang tak sempat tersebut pula, karena surat istimewa ini kuharapkan menjadi jembatan intropeksi diri bukan jembatan penyombongan diri. Dan memang Bukan saatnya kita saling menyalahkan dan menjatuhkan, seharusnya kita kokoh bersatu memajukan negeri ini.
Dapatkah kita bersatu kembali dalam satu barisan dengan semangat membara seperti pencapaian kemerdekaan dahulukala? Dapatkah kita senantiasa menjadi sebuah kesatuan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, Serta rela berkorban demi tumpah darah negeri ini? Dapatkah kita menjadi bangsa yang senantiasa berintegrasi dalam mencapai kemerdekaan, kesejahteraan, kemakmuran dan keselarasan bersama?
Aku percaya pada Bapak Presiden dan Waakil Presidenku mampu menjawab semua pertanyaan diatas. karena Bapak Presidenku dan Wakil Presidenkku adalah pemimpin terbaik di negeri ini. "Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang pernah merasakan menjadi rakyat. Semua harapan rakyat bergantung kepadanya.
Bersama ini kukirimkan sepenggal harpanku dalam rangkain kata surat yang teramat istimewa. Untuk Pemimpin bangsa ini yang telah dianggap mampu mewujudkan harapan rakyat, dengan hati yang tulus berharap.
Demi pena dan apa yang dituliskannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

                                                                                                           Hormat Saya,               
            Anak Bangsa Titian Rakyat Jelata

Posting Komentar untuk "Surat untuk Presiden"